JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan, bahwa fenomena La Nina yang diprediksi terjadi pada Agustus 2024 ini bukanlah badai tropis.
Masyarakat memang diminta untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko dampak termonitornya fenomena La Nina. Namun, menurut Dwikorita, masyarakat juga jangan salah persepsi mengira La Nina sebagai badai tropis ataupun badai topan besar yang akan datang.
"Kami mengimbau agar masyarakat mewaspadai potensi curah hujan lebih tinggi akibat kondisi La Nina. Tapi, La Nina ini bukan badai tropis, ya," kata Dwikorita, mengutip Kompas.com beberapa waktu lalu.
La Nina adalah fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin atau mengalami curah hujan yang lebih tinggi. Dwikorita menjelaskan, fenomena La Nina terjadi ketika Suhu Muka Laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normal.
Baca Juga: Peringatan Dini BMKG 3-4 Agustus 2024: Wilayah Ini Waspada Cuaca Ekstrem Hujan Lebat
Pendinginan ini berpotensi mengurangi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah. Selain itu, angin pasat (trade winds) berembus lebih kuat dari biasanya di sepanjang Samudra Pasifik dari Amerika Selatan ke Indonesia.
Hal ini menyebabkan massa air hangat terbawa ke arah Pasifik Barat. Karena massa air hangat berpindah tempat, maka air yang lebih dingin di bawah laut Pasifik akan naik ke permukaan untuk mengganti massa air hangat yang berpindah tadi.
Hal ini disebut upwelling dan membuat SML turun. Kondisi ini akan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia, serta membuat musim hujan terjadi lebih lama.
Sehingga, La Nina menjadi salah satu faktor yang menyebabkan musim hujan di Indonesia terjadi, selain angin muson.
"Dengan kata lain, Indonesia saat ini lebih hangat, di sana lebih dingin, sehingga terjadi anomali atau perbedaan. Secara teori, apabila perbedaan itu mencapai minus 0,5, maka itu dinyatakan sebagai ambang batas terbentuknya La Nina," jelasnya.
Lebih lanjut, hal ini akan menyebabkan terjadinya aliran massa udara basah, tetapi bukan sirkulasi yang kencang seperti terjadinya badai tropis.
Pasokan aliran massa udara dari Samudra Pasifik menuju ke wilayah Kepulauan Indonesia dan mengakibatkan terjadinya penambahan atau peningkatan curah hujan, karena akan meningkatkan pembentukan awan-awan hujan dengan tambahan massa udara basah.
Di mana akhirnya penambahan pembentukan awan-awan hujan dan massa udara basah tersebut akan meningkatkan pula curah hujan.
"Berdasarkan hasil monitoring, La Nina lemah, meskipun masih lemah, harus waspada bila nanti menjadi moderat, maka dampaknya akan lebih dari saat ini," kata dia.
Baca Juga: BMKG: Waspadai Gelombang Tinggi di Perairan Bali 1-2 Agustus 2024
Dilansir dari situs BMKG, El Nino berasal dari bahasa Spanyol, yang berarti anak laki-laki.
Istilah El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan, yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang Natal. Kondisi yang muncul berabad-abad lalu itu dinamakan El Nino de Navidad oleh para nelayan Peru, yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir.
Menghangatnya perairan di Amerika Selatan itu ternyata berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudra Pasifik bagian timur. Bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Dalam kondisi yang berbeda, terjadi anomali pendinginan lautan di Samudera Pasifik bagian timur dan tengah, yang berkebalikan dengan El Nino. Sehingga dinamai La Nina. Dalam Bahasa Spanyol artinya Si Gadis.
Sehingga El Nino diartikan sebagai fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya, yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah.
Sedangkan La Nina adalah fenomena yang berkebalikan dengan El Nino. Ketika La Nina terjadi, SML di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.