JAKARTA, KOMPAS.TV - Erupsi Gunung Semeru yang dipicu aktivitas vulkanik dan bersentuhan langsung dengan cuaca ekstrem disebut bukan terjadi tiba-tiba.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Prof Nana Sulaksana seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (6/12/2021).
“Jadi letusan kemarin bukan tiba-tiba, tapi memang sudah terjadi letusan kegiatan magmatisme jauh sebelumnya. Hanya kemarin saat letusan besar, secara kebetulan bersamaan dengan curah hujan tinggi,” ungkap Nana.
Bahkan, Nana menambahkan, erupsi Gunung Semeru sudah bisa diprediksi sebelumnya berdasarkan tanda-tanda alam yang muncul.
Sehingga informasi erupsi sudah dapat disampaikan ke masyarakat satu jam sebelum letusan berapi.
Baca Juga: Besok, Jokowi Kunjungi Lokasi Terdampak Erupsi Gunung Semeru di Lumajang
“Dalam ukuran satu hari atau satu jam sudah termasuk bagus berdasarkan kacamatan mitigasi bencana. Jadi, erupsi Semeru kemarin bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa pemberitahuan,” jelasnya.
Dalam penjelasannya Nana menuturkan, dampak besar dari erupsi Gunung Semeru diakibatkan adanya dua gaya yang bekerja, yaitu endogen dan eksogen.
Gaya endogen terjadi dari aktivitas magma yang mendorong material vulkanik naik ke permukaan sementara gaya eksogen diakibatkan hujan ekstrem.
Sehingga material vulkanik yang tertumpuk di kubah secara langsung bersentuhan dengan air dan hanyut ke bawah melalui lembahan dan sungai-sungai.
Akibatnya, kawasan di lembahan Semeru tersapu oleh banjir lahar.
“Kalau tidak ada hujan, maka seluruh material yang keluar sifatnya belum langsung menjadi lahar. Ini karena musim hujan, kebetulan hujan besar, material yang teronggok di atas terkena air, dan hanyut ke sungai,” jelas Nana.
Baca Juga: Kepala BNPB Berikan Bantuan pada 15 Korban Luka akibat Letusan Gunung Semeru
Menurut Nana, letusan Semeru memiliki karakter sendiri sebab setiap komplek gunung berapi di Indonesia memiliki dapur magmanya tersendiri.
“Antara satu gunung api dengan yang lain sebenarnya berbeda. Karena itu, karakternya juga berbeda karena kandungannya berbeda,” ujarnya.
Nana menuturkan dilihat dari tipe letusan dan berdasarkan hasil penelitian serta historis, Gunung Semeru secara spesifik memiliki erupsi yang besar.
Namun setelahnya, gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut akan tertidur kembali.
Berbeda dengan karakter Gunung Merapi atau Sinabung yang memiliki dinamika magma bergerak simultan.
Artinya, lanjut Nana, erupsi di Gunung Merapi atau Sinabung bisa terjadi dengan intensitas kecil tetapi dalam waktu yang sering.
Maka dari itu, setiap gunung berapi di Indonesia memiliki stasiun pengamatannya sendiri.
Baca Juga: Pemprov DKI Kirim Personel dan Bantuan Logistik untuk Korban Erupsi Gunung Semeru
Para pengamat gunung berapi akan rutin melakukan pengamatan terhadap aktivitas gunung berdasarkan perubahan temperatur, catatan seismograf, hingga penampakan visual dari peningkatan gunung berapi.
Nantinya, status gunung berapi akan berubah berdasarkan data yang diamati dan direkam di stasiun pengamatan.
“Jadi, karakter erupsi gunung berapi itu tidak bisa disamakan dengan gunung berapi lainnya,” ujar Nana.
Sebagai informasi, Gunung Semeru yang berada di Kabupaten Lumajang, meletus pada Sabtu (4/12/2021). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Lumajang menyatakan, hingga Senin siang, 15 orang dinyatakan meninggal.
Saat ini sejumlah pihak terkait masih bekerja sama untuk menemukan korban akibat erupsi Gunung Merapi.
Di samping itu, erupsi Gunung Semeru juga mengakibatkan 2.970 rumah rusak dan puluhan fasilitas umum rusak.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.