SAROLANGUN, KOMPAS.TV - Seorang warga Suku Anak Dalam atau Orang Rimba bernama Haji Jaelani menceritakan kisahnya beradaptasi dengan kehidupan di luar hutan.
Ia mengaku pernah memiliki uang tunai Rp1,5 miliar yang terpaksa disimpan di dalam tanah.
Melansir Kompas.com, Haji Jaelani dulu bernama Tarip. Dulu ia tinggal di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dengan mengandalkan kebun sawit dan karet miliknya dengan luas belasan hektare.
Setiap menjual hasil panen sawit dan karet, ia menyimpan uangnya dalam kantong plastik berwarna hitam dan menguburnya dalam tanah di hutan taman nasional itu.
Baca Juga: Hendak Digusur Korporat Sawit, Masyarakat Adat Papua Lancarkan Protes
Haji Jaelani menandai tempat menyimpan uang itu dengan membangun sudong atau pondok sementara tempat tinggal bagi Orang Rimba.
Selama 2,5 tahun, ia menyimpan uang itu hingga bertemu dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) yang mengenalkannya dengan bank.
Ia pun membongkar kuburan berisi uang miliknya dan membawa seluruh hartanya ke bank di Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.
Namun, alangkah terkejutnya Haji Jaelani malah ditolak pihak bank karena tidak punya dokumen kependudukan.
“Saya tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan alamat rumah saya hutan. Maka, saya disuruh orang bank membawa uang itu pulang,” tutur Jaelani di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Laki-laki peraih penghargaan Kalpataru 2006 itu pun mesti pulang ke hutan membawa seluruh uang tunai itu.
Ia kembali menguburkan uang-uang itu.
Akan tetapi, saat itu ia ketakutan karena kabar soal dirinya memiliki banyak uang tersebar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi dekat hutan Bukit Duabelas.
Ia pun tidur tak lelap karena hal itu. Ketika tawaran datang, Haji Jaelani langsung menghabiskan separuh uangnya untuk membeli kebun sawit.
Laki-laki yang baru memeluk agama Islam itu belakangan juga pindah ke kampung transmigrasi dan membangun rumah di sana untuk berbaur.
Sebagian lain hartanya digunakan untuk naik haji ke Mekkah bersama istri.
Baca Juga: Pertahankan Tanah Adat, Warga Bentrok dengan Perusahaan
Sulit Beradaptasi
Setelah menetap di kampung, kebutuhan keluarga Haji Jaelani bertambah.
Laki-laki berumur lebih dari 60 tahun itu mesti membayar pulsa, listrik, membeli perabotan rumah, hingga kebutuhan dapur, seperti masyarakat di luar rimba.
“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp2 juta kita habis,” ujarnya.
Tak sampai di situ, Haji Jaelani juga mengaku kembali ditolak bank saat ingin meminjam uang pada 2014.
Saat itu, harga karet dan sawit turun drastis, sedangkan biaya hidup makin tinggi.
Ia berniat menanam jernang dan tanaman obat untuk ia racik.
Haji Jaelani juga berniat menggunakan uang pinjaman itu untuk penghijauan hutan yang makin gundul.
“Sekali lagi saya ditolak bank. Karena tidak ada (orang kampung lain yang menjadi) penjamin,” bebernya.
Manajer Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni membeberkan nasib Orang Rimba yang tergusur penggundulan hutan.
Penggundulan hutan ini bermula pada dekade 1970 saat kelompok transmigran menebang pohon di atas ratusan hektare tanah.
Baca Juga: Warga Baduy Menangis Hutan Sakralnya Dirusak Penambang Liar, Dedi Mulyadi Bereaksi Keras: Malu!
Pembuatan kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak 1980 membabat habis hutan. Dari 130.308 hektare pada 1989, hutan yang tersisa pada 2008 hanya mencapai 60.483 hektare.
Sebagian besar Orang Rimba pun terpaksa tinggal di kawasan HTI dan kebun sawit. Mereka kesulitan bertahan hidup di sana.
“Orang rimba yang di luar hutan tidak memiliki persediaan pangan lokal seperti gadung, benor, dan ubi. Tetapi makan mi, beras, dan roti. Ini yang membuat mereka kelaparan apabila tidak memiliki penghasilan. Mereka sangat bergantung pada uang,” kata Reni.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.