Baca Juga: Pertahankan Tanah Adat, Warga Bentrok dengan Perusahaan
Sulit Beradaptasi
Setelah menetap di kampung, kebutuhan keluarga Haji Jaelani bertambah.
Laki-laki berumur lebih dari 60 tahun itu mesti membayar pulsa, listrik, membeli perabotan rumah, hingga kebutuhan dapur, seperti masyarakat di luar rimba.
“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp2 juta kita habis,” ujarnya.
Tak sampai di situ, Haji Jaelani juga mengaku kembali ditolak bank saat ingin meminjam uang pada 2014.
Saat itu, harga karet dan sawit turun drastis, sedangkan biaya hidup makin tinggi.
Ia berniat menanam jernang dan tanaman obat untuk ia racik.
Haji Jaelani juga berniat menggunakan uang pinjaman itu untuk penghijauan hutan yang makin gundul.
“Sekali lagi saya ditolak bank. Karena tidak ada (orang kampung lain yang menjadi) penjamin,” bebernya.
Manajer Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni membeberkan nasib Orang Rimba yang tergusur penggundulan hutan.
Penggundulan hutan ini bermula pada dekade 1970 saat kelompok transmigran menebang pohon di atas ratusan hektare tanah.
Baca Juga: Warga Baduy Menangis Hutan Sakralnya Dirusak Penambang Liar, Dedi Mulyadi Bereaksi Keras: Malu!
Pembuatan kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak 1980 membabat habis hutan. Dari 130.308 hektare pada 1989, hutan yang tersisa pada 2008 hanya mencapai 60.483 hektare.
Sebagian besar Orang Rimba pun terpaksa tinggal di kawasan HTI dan kebun sawit. Mereka kesulitan bertahan hidup di sana.
“Orang rimba yang di luar hutan tidak memiliki persediaan pangan lokal seperti gadung, benor, dan ubi. Tetapi makan mi, beras, dan roti. Ini yang membuat mereka kelaparan apabila tidak memiliki penghasilan. Mereka sangat bergantung pada uang,” kata Reni.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.