KOMPAS.TV - Obat antivirus bernama Favipiravir atau Avigan dianggap efektif mengobati Covid-19 atau virus corona. Obat flu dari Jepang itu menunjukkan hasil positif dalam uji klinis yang melibatkan 340 orang di Wuhan dan Shenzhen.
"Obat ini memiliki tingkat keamanan yang terbukti tinggi dan jelas efektif untuk digunakan (melawan virus corona)," ucap Zhang Xinmin, dari Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China, seperti dilaporkan The Guardian via Kompas.com, Kamis (19/3/2020).
Baca Juga: Data Jumlah Kematian Kasus Corona di Indonesia Melonjak Hampir 300%, Ini Penyebabnya
Obat antivirus yang dikembangkan oleh Fujifilm Toyama Chemical itu diproduksi oleh Zheijang Hisun Pharmaceutical untuk mengobati virus influenza. Bulan lalu, obat itu diakui sebagai pengobatan eksperimental untuk infeksi Covid-19.
Penelitian
Pasien positif Covid-19 di Shenzhen diberi obat Avigan oleh para ahli. Empat hari setelah diberikan obat tersebut, mereka dites kembali dan hasil tes virus negatif.
Meski begitu, setengah pasien yang dites menunjukkan hasil negatif lebih awal dan setengahnya lagi lebih dari empat hari. Hasil itu kemudian dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat obat Avigan.
Ahli melihat, pasien baru dinyatakan negatif 11 hari setelah tertular. Kondisi paru-paru (ditunjukkan sinar-X) memperlihatkan adanya perbedaan besar antara pasien Covid-19 yang mengonsumsi Avigan dan tidak.
Baca Juga: Ini 9 Poin Fatwa MUI Terkait Penyelenggaran Ibadah Pencegahan Virus Corona
Pada pasien yang mengonsumsi obat Avigan, tampak kondisi paru-paru meningkat sekitar 91 persen. Sedangkan yang tidak mengonsumsi obat Avigan, kualitas paru-paru meningkat hanya 62 persen.
Sementara itu, dalam uji coba di Wuhan, obat Avigan tampaknya memperpendek durasi demam pasien, dari yang rata-rata 4,2 hari menjadi 2,5 hari.
Pemberitaan sebelumnya mengungkap bahwa obat asal Jepang yang digunakan untuk mengobati flu disebut ampuh dalam mengatasi virus corona.
Tentang Obat Avigan
Dilansir Live Science via Kompas.com, Kamis (19/3/2020), obat Avigan secara khusus dibuat untuk mengobati virus RNA seperti SARS-CoV-2.
SARS-CoV-2 adalah virus yang materi genetik utamanya RNA, bukan DNA.
Baca Juga: Mantan Wakil Rektor UGM Positif Corona
Obat ini menghentikan beberapa virus dari replikasi dengan melumpuhkan enzim (zat yang menyebabkan reaksi kimia) yang disebut RNA polimerase, yang membangun RNA.
Menurut artikel yang membahas obat Avigan pada 2017 dan terbit di jurnal Proceedings of Japan Academy, Ser. B, Physical and Biological Science, tertulis bahwa tanpa adanya enzim utuh, virus tidak dapat menggandakan materi genetik secara efisien di dalam sel inang.
Meski demikian, ahli menemukan bahwa obat ini kurang efektif jika diberikan pada pasien yang memiliki gejala berat.
"Kami telah memberikan Avigan kepada 70 sampai 80 orang. Obat ternyata tidak berfungsi dengan baik ketika virus sudah berlipat ganda di tubuh pasien," kata seorang sumber dari Kementerian Kesehatan Jepang kepada surat kabar Mainichi Shimbun dilansir dari The Guardian.
Di Jepang, obat Avigan memang diresepkan bagi pasien Covid-19 yang memiliki gejala ringan hingga sedang.
Namun, hasil dari uji coba ini belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah peer-review dan tampaknya masih temuan awal.
Baca Juga: Kritik SBY Soal Corona: Mungkin Awalnya Pemerintah Terlalu Percaya Diri
Perkembangan Obat untuk Covid-19
Sampai saat ini, tidak ada obat yang disetujui atau diketahui dapat mengobati SARS-CoV-2.
Namun, obat antivirus yang dikembangkan untuk mengobati penyakit lain sedang diuji coba untuk digunakan dalam mengobati virus corona.
Sebagai contoh, Remdesivir dikembangkan untuk mengobati Ebola, tetapi telah menunjukkan harapan dalam mengobati monyet yang terinfeksi dengan coronavirus lain, seperti sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).
Menurut NBC News, Remdesivir saat ini sedang diuji di China dan AS. Selain itu, uji klinis telah mulai menguji vaksin coronavirus eksperimental pada manusia.
Baca Juga: Ternyata Ini Tujuan Pemerintah Gunakan Wisma Atlet untuk Penanganan Virus Corona
Selama enam minggu ke depan, sekitar 45 peserta diharapkan untuk mendaftar dalam uji coba vaksin di Seattle, yang menguji keamanan vaksin dan kemampuannya untuk memicu respons kekebalan tubuh untuk melawan virus corona.
"Jika semuanya berjalan lancar, termasuk dua fase uji klinis berikutnya, vaksin itu dapat siap untuk digunakan publik dalam waktu sekitar 12 hingga 18 bulan," kata Dr Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.