JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah kalangan masyarakat sipil mempertanyakan independensi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 yang baru dipilih DPR pada Kamis (21/11/2024).
Dari lima pimpinan yang terpilih, tidak ada satu pun yang berasal dari unsur masyarakat sipil. Hal ini menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat sipil.
Lembaga Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute misalnya, menyebut independensi adalah hal yang penting bagi kerja KPK.
"Sementara seluruh pimpinan KPK yang terpilih mewakili institusi penegak hukum dan auditor," kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito dalam keterangan tertulis, Kamis.
"Bagaimana bisa semangat reformasi dibawa ketika pimpinan yang terpilih berasal dari berbagai instansi yang menjadi salah satu objek pengawasan KPK," imbuhnya.
Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut empat dari lima pimpinan KPK terpilih merupakan penegak hukum, baik aktif maupun purnatugas.
Jika hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i Undang-Undang (UU) KPK, bukan tidak mungkin mereka akan punya loyalitas ganda.
Baca Juga: Kritik Pimpinan KPK Terpilih, ICW: Potensi Berdampak Buruk pada Lembaga Anti Korupsi
"Akibatnya, setiap tindakan yang nanti mereka ambil akan bias dengan kepentingan institusi asal," bunyi pernyataan ICW di laman resminya, Jumat (22/11/2024)
Sebagai catatan, Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK menjelaskan bahwa salah satu subjek dari proses hukum yang ditangani oleh KPK adalah aparat penegak hukum.
"Pertanyaan reflektif yang muncul adalah, apakah pimpinan dapat bertindak objektif dan imparsial jika pada masa mendatang KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?"
Setara Institute juga memberikan sorotan tajam terhadap lima pimpinan KPK terpilih.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menilai keputusan DPR memilih pimpinan KPK dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), secara politik telah mengikis sifat independensi KPK sebagai lembaga negara.
"DPR RI secara sengaja memilih calon-calon yang memiliki afiliasi organisasi yang memungkinkan pengendalian sikap, tindakan, dan pengendalian kehendak-kehendak tertentu dalam pemberantasan korupsi," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis.
Keputusan DPR tersebut dianggap tidak sejalan dengan tujuan awal pembentukan KPK sebagai auxiliary state institution dan antitesis atas kinerja ordinary state institution.
"Yakni kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya dianggap tidak akuntabel dalam pemberantasan korupsi," tegasnya.
Ia menduga hal tersebut adalah bagian dari skenario untuk melemahkan KPK.
"Pilihan DPR atas 5 pimpinan KPK yang memiliki patronase organisasi dan patronase personal hirarkial pada lembaga-lembaga pemerintahan menegaskan, skenario mantan Presiden Jokowi yang membentuk Panitia Seleksi dan memilih 10 pilihan calon dan mengirimkannya ke DPR RI untuk menyempurnakan pelemahan KPK," jelasnya.
Baca Juga: Tak Ada Masyarakat Sipil Jadi Pimpinan KPK Terpilih, Komitmen Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman tak kalah keras memberikan sorotan. Baginya, formasi pimpinan KPK yang didominasi aparat penegak hukum menunjukkan bahwa DPR ingin mengontrol KPK.
"Jadi ini tentu sangat mengecewakan karena tidak adanya unsur masyarakat sipil, tidak adanya unsur profesi, bahkan juga tidak ada unsur perempuan," kata Zaenur, Kamis.
Dia mengatakan DPR menjadikan KPK sebagai sekretariat bersama bagi para aparat penegak hukum baik yang masih aktif maupun yang sudah purnatugas.
"Saya tidak melihat dengan konfigurasi pimpinan KPK yang seperti ini, KPK akan kembali menjadi lembaga negara yang bisa independen," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.