Kompas TV nasional peristiwa

Ketua Kompolnas soal Penyiksaan oleh Aparat: Pasang CCTV di Ruang Pemeriksaan dan Tahanan

Kompas.tv - 27 Juni 2024, 11:04 WIB
ketua-kompolnas-soal-penyiksaan-oleh-aparat-pasang-cctv-di-ruang-pemeriksaan-dan-tahanan
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional, Benny Mamoto (kanan) dalam diskusi Hari Anti-Penyiksaan Internasional, di Jakarta, Rabu (26/6/2024). (Sumber:amnesty international)
Penulis : Iman Firdaus | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional, Benny Jozua Mamoto, mengungkapkan pihaknya menerima banyak laporan pengaduan penyiksaan, termasuk dugaan penyiksaan aparat atas remaja AM (13) di Padang, Sumatera Barat hingga tewas.  

Kompolnas, menurut Benny, akan menindaklanjutinya dan sepakat bahwa kasus-kasus penyiksaan aparat harus segera dihentikan. Salah satu caranya, merekomendasikan kepada Polri perlunya penggunaan peralatan pendukung untuk mencegah kekerasan.

“Seperti pemasangan CCTV di ruang pemeriksaan dan ruang tahanan. Lalu penggunaan body camera bagi anggota yang bertugas di lapangan saat penangkapan, surveillance, penanganan unjuk rasa dan lain-lain,” ujar Benny dalam acara diskusi memperingati Hari Anti-Penyiksaan Internasional, di Jakarta, Rabu (26/6/2024).    

Baca Juga: Kompolnas Datangi Polda Sumbar, Dorong Penyelidikan Tewasnya Siswa SMP di Padang

Sementara Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa penyiksaan atas warga sipil oleh aparat keamanan dan penegak hukum kian meningkat dalam tiga tahun terakhir, dan ironisnya didominasi anggota Kepolisian RI.  

Karena itu, pemerintah perlu segera menguatkan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas aparat demi mengakhiri praktik penyiksaan. Demikian Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena dalam diksusi yang sama.  

Wirya Adiwena, mengingatkan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan dijamin dalam hukum internasional dan konstitusi Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Menentang Penyiksaan.

“Meskipun sudah dijamin oleh konstitusi, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 226 korban penyiksaan di Indonesia sejak Juli 2019,” katanya.

Bahkan Amnesty mencatat terus bertambahnya jumlah penyiksaan oleh aparat penegak hukum dalam tiga tahun terakhir. “Periode 2021-2022 terdapat setidaknya 15 kasus dengan 25 korban, lalu periode 2022-2023 naik menjadi setidaknya 16 kasus dengan 26 korban. Bahkan pada periode 2023-2024 melonjak menjadi setidaknya 30 kasus dengan 49 korban.”  

“Selama tiga periode tersebut, pelaku penyiksaan didominasi oleh anggota Polri sebanyak 75%, personel TNI 19%, gabungan anggota TNI dan Polri 5%, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) 1%. Ini merupakan data yang mengkhawatirkan,” kata Wirya dikutip dari laman amnesty.id.  

Dalam diskusi tersebut juga diungkapkan dugaan penyiksaan polisi terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatra Barat, dengan dalih melakukan penertiban wilayah dari aksi tawuran. Insiden tersebut menyebabkan salah satu dari mereka meninggal dunia, yaitu remaja berinisial AM (13).  

Direktur LBH Padang, Indira Suryani, mengungkapkan bahwa AM ditemukan meninggal di bawah Jembatan Batang Kuranji, Padang, dengan bekas luka-luka kekerasan.

“Kami menduga tidak hanya AM, tapi anak-anak lainnya mendapat penyiksaan yang diduga dilakukan aparat. Mereka ditangkap dan disiksa karena dituduh melakukan tawuran,” kata Indira.  

LBH Padang, lanjut Indira, sudah melapor kepada Propam Polda Sumatra Barat dengan mengawal kasus ini agar memperoleh keadilan bagi para korban. 

Penyiksaan pun sering kali dilaporkan terjadi dalam proses hukum untuk mendapatkan “pengakuan” dari tersangka. Ini seperti yang ditemui oleh pengacara publik di Nusa Tenggara Barat, Yan Mangandar Putra, saat mendampingi sejumlah warga di Kabupaten Dompu yang menjadi terpidana mati atas kasus mutilasi.

Baca Juga: Komisi Penyelidikan PBB: Kejahatan Kemanusiaan Israel di Gaza, dari Penyiksaan hingga Pemusnahan

Kelima warga itu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram pada 18 Januari 2018 terkait kasus mutilasi dan kini mereka tengah menunggu Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. 

Yan mengungkapkan bahwa sebelumnya polisi di Dompu memeriksa enam tersangka dalam kasus pembunuhan yang disertai mutilasi itu.

“Para tersangka mengalami kekerasan oleh karena penyidik merekayasa agar mereka mengakui telah melakukan pembunuhan berencana dengan cara mayat korban dimutilasi. Selama sekitar 2 minggu mereka, terutama dua tersangka di antaranya, sering mengalami penyiksaan,” ujar Yan.  


 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x