JAKARTA, KOMPAS.TV - Persidangan kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limbo atau SYL, memunculkan sejumlah kesaksian yang bisa bikin geleng-geleng kepala.
Bagaimana tidak, para saksi yang merupakan para pejabat di Kementerian Pertanian (Kementan), mengungkapkan aliran uang ke anggota keluarga SYL, penyanyi dangdut, dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Minta Umrah
Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto sampai geleng-geleng kepala saat SYL disebut meminta anggaran Rp1 miliar kepada direktorat jenderalnya untuk melaksanakan ibadah umrah.
Hal ini disampaikannya saat dihadirkan menjadi saksi dalam sidang lanjutan pada Rabu (15/5/2024).
Mulanya jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi terkait permintaan Rp1 miliar kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Holtikultura Kementan untuk biaya umrah.
"Terkait dengan uang yang tadi saksi jelaskan, bahwa ada beban paling besar tahun 2022 untuk umroh, bisa saksi jelaskan umroh siapa ini yang dibebankan Rp1 miliar kepada Ditjen Holtikultura?" tanya jaksa kepada Prihasto.
"Waktu itu, yang kami tahu Pak Menteri (SYL) bersama keluarga, dan beberapa eselon I yang ikut dalam umrah tersebut," jawabnya.
"Saksi apakah ikut?" tanya jaksa lagi.
"Tidak ikut. Kami waktu itu baru naik haji. Kami diajak tapi kami beralasan baru naik haji karena tidak mau ikut," jelas Prihasto.
Baca Juga: KPK Hadirkan 2 Dirjen Kementan untuk Bersaksi di Sidang Kasus Korupsi SYL Hari Ini
Jaksa kemudian menanyakan alasan Prihasto menyanggupi permintaan Rp1 miliar tersebut.
Dia pun menjelaskan pihaknya selalu ditagih oleh anak buah SYL yakni Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Ditjen Prasarana dan Saranan Kementan Muhammad Hatta, sehingga harus menyanggupi permintaan Rp1 miliar tersebut meski saat itu tidak ada anggarannya.
Bayar Penyanyi Dangdut
Pada persidangan sebelumnya, banyak pula fakta terungkap, seperti bayaran untuk penyanyi dangdut dan uang bulanan isteri.
Hal itu dibongkar oleh Pejabat Fungsional Barang Jasa Rumah Tangga Kementan Arief Sopian saat dihadirkan menjadi saksi pada Senin, 19 April 2024.
Adapun pengeluaran anggaran entertainment tersebut sebesar Rp50-100 juta.
"Saksi menyebut di sini ada beberapa pengeluaran untuk entertain. Makanya, ini saya tanyakan, karena saksi menyebutnya beberapa kali. Sekitar Rp50 sampai Rp100 juta sekali mentransfer untuk entertain. Ini maksudnya entertain bagaimana?" tanya jaksa penuntut umum KPK kepada Arief.
"Kadang kan ketika ada acara, terus panggil penyanyi. Ada biduan, lah. Nah, itulah yang kita harus bayarkan gitu, Pak," jawab Arief.
"Membayar penyanyi-penyanyi itu yang didatangkan?" tanya jaksa kembali.
"Iya betul," ujar Arief.
Di antara biduan yang dimaksud, jaksa kemudian menyinggung jebolan Rising Star Indonesia Dangdut, Nayunda Nabila Nizrinah.
Bayar Pejabat BPK
Dalam sidang SYL sebelumnya juga terungkap adanya aliran uang ke auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal itu disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Dirjen PSP) Kementan Hermanto dalam sidang pada Rabu, 8 Mei 2024.
Dia mengungkapkan, ada permintaan duit dari auditor BPK agar laporan keuangan Kementan era SYL dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dalam sidang, jaksa menggali hasil pemeriksaan BPK terhadap Kementan terkait status opini WTP dan menanyakan apakah ada permintaan uang dari auditor.
“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto.
Namun, kata dia, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan tersebut. Menurut informasi dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp5 miliar.
"Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp5 miliar,” ujar Herman.
Menanggapi kesaksian tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mendesak KPK segera memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebut dalam sidang SYL.
"Keterangan saksi dalam proses persidangan Syahrul Yasin Limpo, yang menyatakan bahwa ada permintaan uang dari auditor BPK harus dipandang sebagai fakta persidangan," kata Diky kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Menurut dia, keterangan itu harus ditindaklanjuti segera.
"Apalagi disebutkan bahwa dari permintaan uang sebesar Rp12 miliar, transaksinya sudah terjadi dengan kesepakatan sebesar Rp5 miliar agar Kementerian Pertanian mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK," katanya.
Maka dari itu, sambung Dicy, keterangan saksi harus dijadikan sebagai fakta petunjuk oleh KPK untuk melihat apakah unsur pasal suap telah dipenuhi.
Baca Juga: KPK Sita Mobil Mewah Mercedes Benz Sprinter Milik SYL yang Disembunyikan di Jatipadang Jaksel
"Caranya adalah dengan melakukan pengembangan perkara dengan melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan atas indikasi suap menyuap ini dengan segera memanggil dan memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebutkan namanya," katanya.
Diky juga mengingatkan agar KPK segera bertindak tanpa harus menunggu persidangan SYL selesai.
"KPK tanpa harus menunggu pembacaan vonis persidangan Syahrul Yasin Limpo," ujar Diky.
Sementara, tambah Diky, untuk mendalami aliran dana dan dugaan pencucian uang dari konstruksi dugaan suap menyuap itu, KPK bisa berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Dalam rangka pelacakan aset," ujarnya.
Kasus dugaan korupsi SYL ternyata melibatkan banyak pihak. Munculnya nama anggota IV BPK Haerul Saleh yang dikaitkan dengan dugaan suap Rp12 miliar untuk penerbitan status WTP, sangat mengejutkan sejumlah kalangan.
KPK Harus Serius
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam meminta KPK serius dalam menyikapi dugaan keterlibatan pejabat BPK.
"Praktek oknum BPK yang diduga meminta dana untuk opini WTP itu termasuk gratifikasi dan ini termasuk kejahatan besar," kata Roy kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Oleh karena itu, kata dia, KPK tidak boleh main-main dan harus menelusuri dugaan aliran dana suap tersebut.
"Harus segera memeriksa oknum pejabat BPK yang bersangkutan. Karena memang diduga praktek gratifikasi terkait hasil audit BPK sudah sering terjadi, bukan hanya pada auditor lapangan, namun sudah masuk pada level pimpinan BPK," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Roy, BPK bisa belajar dari kasus yang menjerat Anggota III BPK Achsanul Qosasi terkait suap proyek BTS.
"Nah, kalau dugaan suap WTP Kementan ini terjadi lagi, maka oknum BPK itu tidak amanah mengelola uang rakyat. Dengan begitu, tidak ada lagi lembaga yang bisa menggaransi pengelolaan APBD dan APBN," terang peneliti kebijakan publik itu.
Ditanya soal peran Majelis Kehormatan Kode Etik BPK dalam memeriksa pejabat tersebut, Roy mengatakan tidak bisa berharap banyak.
"Majelis Etik ini tidak berfungsi maksimal, karena sifatnya hanya kumpulan anggota majelis yang didominasi pimpinan, apalagi mereka juga bagian kolega. Pengalaman kita selama ini, bahwa sifatnya Majelis Etik hanya menunggu. Jadi tidak mungkin proaktif. Nah saat kita melaporkan oknum BPK, kita juga yang harus aktif mencari bukti-bukti," jelas pegiat antikorupsi itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.