Kompas TV nasional hukum

Kesaksian di Sidang SYL: Minta Umrah, Bayar Pedangdut, hingga Keterlibatan Pejabat BPK

Kompas.tv - 16 Mei 2024, 07:25 WIB
kesaksian-di-sidang-syl-minta-umrah-bayar-pedangdut-hingga-keterlibatan-pejabat-bpk
Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo atau SYL dalam sidang lanjutan kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/5/2024). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Iman Firdaus | Editor : Edy A. Putra

Dia mengungkapkan, ada permintaan duit dari auditor BPK agar laporan keuangan Kementan era SYL dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Dalam sidang, jaksa menggali hasil pemeriksaan BPK terhadap Kementan terkait status opini WTP dan menanyakan apakah ada permintaan uang dari auditor.

“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto.

Namun, kata dia, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan tersebut. Menurut informasi dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp5 miliar. 

"Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp5 miliar,” ujar Herman.

Menanggapi kesaksian tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mendesak KPK segera memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebut dalam sidang SYL.

"Keterangan saksi dalam proses persidangan Syahrul Yasin Limpo, yang menyatakan bahwa ada permintaan uang dari auditor BPK harus dipandang sebagai fakta persidangan," kata Diky kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Menurut dia, keterangan itu harus ditindaklanjuti segera.

"Apalagi disebutkan bahwa dari permintaan uang sebesar Rp12 miliar, transaksinya sudah terjadi dengan kesepakatan sebesar Rp5 miliar agar Kementerian Pertanian mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK," katanya.

Maka dari itu, sambung Dicy, keterangan saksi harus dijadikan sebagai fakta petunjuk oleh KPK untuk melihat apakah unsur pasal suap telah dipenuhi. 

Baca Juga: KPK Sita Mobil Mewah Mercedes Benz Sprinter Milik SYL yang Disembunyikan di Jatipadang Jaksel

"Caranya adalah dengan melakukan pengembangan perkara dengan melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan atas indikasi suap menyuap ini dengan segera memanggil dan memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebutkan namanya," katanya.

Diky juga mengingatkan agar KPK segera bertindak tanpa harus menunggu persidangan SYL selesai.

"KPK tanpa harus menunggu pembacaan vonis persidangan Syahrul Yasin Limpo," ujar Diky.

Sementara, tambah Diky, untuk mendalami aliran dana dan dugaan pencucian uang dari konstruksi dugaan suap menyuap itu, KPK bisa berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Dalam rangka pelacakan aset," ujarnya.

Kasus dugaan korupsi SYL ternyata melibatkan banyak pihak. Munculnya nama anggota IV BPK Haerul Saleh yang dikaitkan dengan dugaan suap Rp12 miliar untuk penerbitan status WTP, sangat mengejutkan sejumlah kalangan. 

KPK Harus Serius

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam meminta KPK serius dalam menyikapi dugaan keterlibatan pejabat BPK.

"Praktek oknum BPK yang diduga meminta dana untuk opini WTP itu termasuk gratifikasi dan ini termasuk kejahatan besar," kata Roy kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Oleh karena itu, kata dia, KPK tidak boleh main-main dan harus menelusuri dugaan aliran dana suap tersebut.

"Harus segera memeriksa oknum pejabat BPK yang bersangkutan. Karena memang diduga praktek gratifikasi terkait hasil audit BPK sudah sering terjadi, bukan hanya pada auditor lapangan, namun sudah masuk pada level pimpinan BPK," ujarnya. 


Seharusnya, lanjut Roy, BPK bisa belajar dari kasus yang menjerat Anggota III BPK Achsanul Qosasi terkait suap proyek BTS.

"Nah, kalau dugaan suap WTP Kementan ini terjadi lagi, maka oknum BPK itu tidak amanah mengelola uang rakyat. Dengan begitu, tidak ada lagi lembaga yang bisa menggaransi pengelolaan APBD dan APBN," terang peneliti kebijakan publik itu. 

Ditanya soal peran Majelis Kehormatan Kode Etik BPK dalam memeriksa pejabat tersebut, Roy mengatakan tidak bisa berharap banyak.

"Majelis Etik ini tidak berfungsi maksimal, karena sifatnya hanya kumpulan anggota majelis yang didominasi pimpinan, apalagi mereka juga bagian kolega. Pengalaman kita selama ini, bahwa sifatnya Majelis Etik hanya menunggu. Jadi tidak mungkin proaktif. Nah saat kita melaporkan oknum BPK, kita juga yang harus aktif mencari bukti-bukti," jelas pegiat antikorupsi itu.



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x