JAKARTA, KOMPAS.TV - Jakarta akan menjadi kawasan aglomerasi setelah Ibu Kota Negara resmi pindah ke Nusantara, Kalimantan Timur.
Jakarta sebagai kawasan aglomerasi tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
Nantinya Jakarta sebagai kawasan aglomerasi akan dipimpin dewan kawasan aglomerasi. Dewan ini ditujuk oleh presiden.
Penunjukan dewan kawasan aglomerasi menjadi polemik lantaran nantinya presiden berhak menentukan siapa yang bakal didelegasikan untuk memimpin dewan aglomerasi, termasuk menunjuk wakil presiden.
Polemik berkembang karena kebijakan tersebut dinilai sengaja dibuat untuk memberi kewenangan kepada Gibran Rakabuming Raka, cawapres Prabowo Subianto, meski keduanya belum diputuskan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Baca Juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Dewan Aglomerasi dalam RUU DKJ Tak Dipimpin Wapres, tapi Dipilih Presiden
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas membantah penilaian kebijakan penunjukan dewan kawasan aglomerasi yang diberikan kepada presiden untuk kepentingan politik.
Supratman juga heran mengapa penilaian itu muncul, padahal RUU DKJ ini merupakan usulan dari DPR bukan berasal dari pemerintah.
"Tujuan dewan aglomerasi itu fungsinya koordinatif, karena mengawal Jakarta ke depan itu bukan daerah Jakarta saja tetapi meliputi daerah sekitarnya. Karena problemnya cukup holistik, pendekatannya pun harus holistik maka perlu ada dewan kawasan aglomerasi," ujar Supratman di program Kompas Petang KOMPAS TV, Jumat (15/3/2024).
Supratman menambahkan dalam draf RUU DKJ, Baleg DPR memang mengusulkan penunjukan dewan kawasan aglomerasi yang diberikan kepada presiden, termasuk nantinya jika presiden menunjuk wakilnya.
Namun kebijakan tersebut datang bukan karena ada pertimbangan ataupun transaksi politis, tapi lebih kepada perlu dewan yang memantau keberlangsungan kawasan aglomerasi Jakarta.
Baca Juga: Mendagri Tito Jelaskan Alasan Dewan Aglomerasi di RUU DKJ Dipimpin Wapres
Menurut Supratman polemik penunjukan itu datang karena semua pikiran dan fokus tertuju ke Pilpres dan Pileg 2024 hingga akhirnya dikaitkan dengan Gibran.
Supratman memastikan dalam pembahasan RUU DKJ, Baleg tetap mendengar kritikan dan masukan dari publik.
"Seakan-akan ada pembagian yang sudah diatur dari awal, itu enggak ada yang seperti itu. Ini sebenarnya enggak ada kaitannya dengan Gibran," ujaranya.
"Bahwa dengan sistem presidensial yang kita anut, mau tidak mau siapa yang menjadi ketua dan anggota dewan aglomerasi ditentukan oleh presiden lewat keputusan presiden dan perdebatan itu sudah selesai," kata Supratman.
Lebih lanjut Supratman menjelaskan sebelum ada aglomerasi, Jakarta dan sekitarnya diharapkan bisa menjadi sebuah kota megapolitan.
Baca Juga: Respons Singkat Gibran soal Dewan Aglomerasi Jakarta Bakal Dipimpin Wapres
Namun kota megapolitan ini sulit diwujudkan karena bersinggungan dengan kewenangan-kewenangan yang melekat pada daerah di sekitar Jakarta.
Untuk itu kawasan aglomerasi lebih cocok karena konsep yang diterapkan adalah satu kawasan yang saling terintegrasi, baik dalam ekologi, ekonomi dan transportasi.
Selain itu sistem aglomerasi yang diterapkan juga tidak bersinggungan dengan kewenangan otonomi daerah di sekitar Jakarta.
Agar tujuan ini bisa tercapai, sambung Supratman, perlu pemimpin yang mengerti betul tujuan dibentuknya Daerah Khusus Jakarta, setelah Jakarta tidak menjadi Ibu Kota Negara.
"Semua itu memerlukan perhatian khusus, bagaimana nantinya menyatukan sistem transportasi, keteribatan setiap daerah dalam penanganan banjir. Karena itu siapapun yang ditunjuk presiden yang dianggap cakap melakukan tugas itu, itu jadi ranah presiden. Apakah nanti presiden mendelegasikan wakil presiden ya silahkan," ujar Supratman.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.