JAKARTA, KOMPAS.TV - Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyebut ada upaya-upaya untuk menggagalkan Pemilu 2024.
Wakil Komandan Echo (Hukum dan Advokasi) TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman mengatakan, dalam beberapa hari ini, pihaknya mendapat masukan dari masyarakat yang mendeteksi adanya rencana atau potensi untuk menggagalkan Pemilu 2024.
Menurut dia, rencana atau upaya itu dilakukan setidaknya dengan beberapa langkah. Pertama, penyebaran koran gelap "Achtung" secara masif di berbagai kota besar yang isinya fitnah terhadap capres nomor urut 2, Prabowo.
Habiburokhman menyatakan koran tersebut berisi informasi tentang penculikan aktivis 1998. Di halaman depan koran "Achtung" itu, kata dia, terdapat foto Prabowo dan korban-korban penculikan aktivis 98.
Ia menjelaskan, ada empat fakta hukum yang menguatkan Prabowo tidak memilik kaitan dengan penculikan aktivis 98.
Baca Juga: Ganjar Tanya Prabowo soal 12 Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Salah satunya, bahwa sudah lebih dari 16 tahun sejak 2006, Komnas HAM tidak pernah bisa melengkapi hasil penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat penculikan aktivis yang dinyatakan kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung.
"Padahal, menurut ketentuan Pasal 20 UU Nomor 26 tahun 2000, waktu itu Komnas HAM melengkapi hasil penyelidikan tersebut hanyalah 30 hari," ujar Habiburokhman dalam jumpa pers, Jumat (12/1/2024).
Ia melanjutkan, rencana atau potensi menggagalkan Pemilu 2024 yang kedua yakni, adanya hasutan kepada mahasiswa untuk turun ke jalan untuk menentang politik dinasti, membangun narasi pelanggaran HAM, dan menangkap para pelanggar HAM.
Menurut Habiburokhman, isu tersebut masih standar. Namun semakin ke sini, isunya mulai tidak masuk akal, terlebih di tengah tahapan pemilu saat ini. Menurut dia, hal itu akan memancing reaksi pihak-pihak lain.
Misalnya, kata dia, pihak yang menuduh adanya praktek politik dinasti dalam konteks negatif. Padahal, menurutnya, sebagian masyarakat menganggap tidak terjadi praktek politik dinasti dalam konteks negatif.
Baca Juga: Bansos Bisa jadi Alat Menentukan Pilihan di Pilpres 2024? | Dua Arah
"Kami khawatirkan bisa terjadi benturan yang pada akhirnya menyebabkan situasi menjelang pemilu tidak kondusif dan akhirnya bisa saja terjadi chaos dan kegagalan," ujarnya.
Rencana atau potensi untuk menggagalkan Pemilu 2024 yang ketiga, kata Habiburokhman, adalah narasi yang mencoba membenturkan prajurit TNI dan Polri dengan masyarakat sipil.
Dia menilai kasus bentrokan prajurit TNI dan warga sipil memang bisa terjadi. Namun karena peristiwanya terjadi di tengah proses Pemilu 2024, kejadian tersebut diarahkan ke ranah politik.
Menurut Habiburokhman, yang paling penting dalam penanganan peristiwa tersebut adalah penindakan dan penanganannya.
Baca Juga: Joget dan Celetukan Prabowo soal Nilai 11 dari 100 dari Anies Baswedan
"Kita lihat KSAD sudah tegas menindak semua oknum prajurut TNI yang melakukan pelanggaran, tetapi ada pihak-pihak yang terus menggoreng isu ini, seolah-olah TNI secara sistematis berpihak pada satu pihak dan mengintimidasi pihak yang lain," ujarnya.
Dugaan rencana atau potensi menggagalkan Pemilu 2024 keempat yakni narasi untuk menunda atau menghentikan bantuan sosial (bansos).
Habiburokhman menjelaskan, narasi tersebut mendapat reaksi dari masyarakat yang khawatir tidak mendapatkan bansos.
Padahal, kata dia, bansos yang dijalankan pemerintah sudah terprogram jauh sebelum pemilu.
Ia mengatakan ada atau tidaknya pemilu, program bansos tetap berjalan untuk mengurangi beban pengeluaran dan memastikan masyarakat, terutama kelompok miskin ekstrem, dapat memenuhi kebutuhan dasar.
Baca Juga: JK Bela Anies Soal Laporan Bawaslu, TKN Yakini Umpatan Prabowo Tak Masuk Unsur Penghinaan
"Bansos itu haknya masyarakat, kalau memang sampai tertunda apalagi dibatalkan, reaksi keras dari masyarakat dan pertaruhannya tentu keberlangsungan pemilu yang kita inginkan secara damai bisa tidak terwujud," ujar Habiburokhman.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.