JAKARTA, KOMPAS.TV – Mahkamah Konstitusi menjadwalkan sidang pendahuluan perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada hari ini, Rabu (8/11/2023).
Mengutip laman resmi MKRI, sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan tersebut bakal dilaksanakan di Gedung MKRI lantai 2, pada hari ini mulai pukul 13.30 WIB.
Gugatan tersebut dimohonkan oleh pemohon Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Ia mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6109 sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.
Baca Juga: Kata Hamdan Zoelva soal Ketua MK yang Baru usai Anwar Usman Diberhentikan
“Yang menyatakan persyaratan menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” demikian disampaikan dalam lembar permohonan, dikutip dari laman MKRI.
Pemohon berpendapat, frasa "Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945.
Dalam poin kedudukan hukum dan kerugian konstitusional pemohon nomor 6.5, disampaikan bahwa bunyi ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, berpotensi menimbulkan persoalan hukum bagi calon yang berusia dibawah 40 tahun.
Sebab, terdapat frasa "Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah", dan frasa tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud.
“Apakah jabatan pada tingkat gubernur dan wakil gubernur atau juga termasuk jabatan pada tingkat bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.”
Pada angka 6.7 di poin yang sama, pemohon juga menjelaskan bahwa syarat dikabulkannya suatu permohonan adalah minimal mendapatkan 5 suara majelis hakim konstitusi yang bersepakat untuk mengabulkan permohonan pemohon.
Padahal, dalam Permohonan a quo, lanjut pemohon, jika melihat komposisi hakim, terdapat ketidakpastian hukum, karena dari 5 hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan, terdapat perbedaan.
Perbedaan tersebut adalah, 3 hakim konstitusi memaknai “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah", sedangkan dua hakim lainnya memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan gubernur.
“Artinya apabila akan diambil kesepakatan untuk memaknai frasa "pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah amar putusan dalam Putusan No. 9O/PUU-XXI/2023 adalah pada Pemilihan Kepala Daerah pada tingkat Provinsi atau pada jabatan Gubernur,” demikian tertulis dalam angka 6.9.
Baca Juga: MK Kembali Sidangkan Syarat Usia Capres-Cawapres, Berikut Jadwalnya
Hal ini, lanjutnya, tentunya merugikan pemohon sebagai warga negara lndonesia secara potensial dalam penalaran yang wajar pasti akan terjadi.
“Oleh karenanya, walaupun pemohon bukan penggemar pada salah satu calon yang berkontestasi pada pemilu 2024, namun pemohon memiliki kerugian konstitusional.”
Dalam poin alasan, pemohon memohonkan gugatan tersebut, juga disampaikan bahwa jika diakumulasikan, dari 5 hakim konstitusi yang menyetujui permohonan 90/PUU-XXI/2023, hanya mengabulkan syarat berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi sebagai gubernur.
“Karena terhadap syarat tersebut, 3 hakim konstitusi (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof Manahan MP Sitompul) tidak menolaknya.”
“Sementara terhadap syarat berpengalaman pada tingkat DPR, DPD, dan DPRD serta bupati dan wali kota, tidak disetujui oleh 2 Hakim MK (YM Prof Dr Enny Nurbaningsih dan YM Dr Danil Yusmik P Foekh) in casu kekurangan 2 suara hakim konstitusi,” bebernya.
Oleh sebab itu, pemohon berpendapat jika frasa "Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" tidak dimaknai sebagai “Yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat gubernur” adalah inkonstitusional.
“Karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusi dari 5 suara Hakim Konstitusi yang dibutuhkan.”
Dalam petitumnya, pemohon memohon agar Hakim MK mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.
Pemohon juga meminta agar Hakim MK mengubah frasa "Yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" menjadi "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi".
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.