JAKARTA, KOMPAS.TV - Partai Hijau Indonesia (PHI) menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi semakin menunjukkan watak diktatornya dalam pelbagai peristiwa politik termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Presidium Nasional PHI John Muhammad menyebut pihaknya menduga terdapat campur tangan kuat dari Presiden Jokowi dalam meloloskan gugatan batas usia capres-cawapres tersebut.
Sebagai informasi, dengan adanya putusan MK tersebut, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun dapat maju di Pilpres 2024. Seperti diketahui, saat ini Gibran telah maju sebagai bakal calon wakil presiden (Bacawapres) pendamping Prabowo Subianto.
Sebab itu, PHI pun mengajak masyarakat sipil untuk membentuk poros politik baru selain ketiga koalisi politik yang ada.
Poros ini bertujuan untuk menghentikan upaya Presiden Jokowi melanggengkan kekuasaan melalui pemenangan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Dugaan kuat intervensi Jokowi kepada Mahkamah Konstitusi melalui saudara iparnya dan putusan yang meloloskan anaknya sebagai cawapres, patut diperiksa lebih jauh sebagai penyelewengan konstitusi," kata John Muhammad dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.tv, Senin (6/11/2023).
"PHI menilai praktik tersebut merupakan pengkhianatan konstitusi yang memiliki konsekuensi hukum serius, yakni: pemakzulan," sambungnya.
Selain kuatnya intervensi atas proses di MK, PHI menilai, watak kediktatoran Jokowi juga semakin terlihat dari upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, menunda pemilu, hingga adanya pemalsuan verifikasi faktual untuk sejumlah parpol.
PHI menengarai Jokowi dan kekuasaannya telah membajak lembaga-lembaga penting dalam demokrasi, termasuk partai-partai politik, KPK, KPU, hingga MK.
Baca Juga: Ditanya Pengaruh Putusan MKMK terhadap Dirinya Jadi Bacawapres, Ini Respons Gibran Rakabuming Raka!
Tindakan ini menurutnya, untuk melanggengkan kekuasaannya lewat cara-cara curang, termasuk mengubah aturan main ini berpotensi mematikan demokrasi.
"Untuk mencegah kediktatoran gaya baru perlu kekuatan massa politik yang lebih besar. Masyarakat sipil tak boleh diam. Harus melakukan sesuatu. Ruang politik baru harus diciptakan untuk memperjuangkan kepentingan umum," tegas John.
Bagi PHI, pembentukan poros politik baru masyarakat sipil semakin mendesak karena ketiga pasangan tersebut, termasuk partai-partai politik yang mengusungnya memiliki rekam jejak dan kebijakan yang bermasalah.
Ia kemudian menyinggung terkait kebijakan pembangunan bermasalah yang terjadi di Kendeng, Wadas, Rempang. Kemudian terkait pendekatan politik identitas yang sempat merusak rajutan tenun kebangsaan.
“Warga tidak boleh lagi tertipu visi dan misi. Warga perlu ditempatkan sebagai aktor penentu kebijakan. Warga perlu kontrak politik sejati. Poros Politik baru perlu dibangun bersama," tegasnya.
"Ini bukan sekadar koalisi antar partai politik yang tidak dapat dipegang komitmen politiknya dan sulit diukur dampak politiknya secara riil. Ini batu uji untuk mencegah kediktatoran Jokowi," ujar John.
Adapun dalam pembentukan poros politik baru, PHI mengajukan sejumlah syarat tujuan bersama, yakni:
Pertama, bersama-sama menuntut penyelidikan yang serius atas dugaan penyelewengan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Kedua, bersama-sama memastikan diri untuk tidak memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan membangun gerakan penolakan seluas-luasnya.
Ketiga, bersama warga membangun agenda politik baru melalui kontrak politik sejati yang tak terbatas pada Platform Hijau dan/atau melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.
Baca Juga: Ini Alasan Gerindra Sebut MKMK Tak Bisa Batalkan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.