JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai adanya potensi konflik kepentingan dari anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang profilnya telah diumumkan pada Senin (23/10/2023).
Sebagaimana diketahui, tiga anggota MKMK terdiri dari Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams.
Jimly pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2003-2008 serta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) periode 2012-2017.
Akan tetapi, Jimly terang-terangan mendukung bakal calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto. Pada 1 Mei 2023, Jimly menghadiri undangan Prabowo dan mengikuti acara di rumah Ketua Umum Partai Gerindra itu di Hambalang, Jawa Barat.
Oleh karena itu, Bivitri menilai penunjukan Jimly sebagai anggota MKMK kurang independen.
"Tak kurang hormat saya kepada Prof Jimly, tapi kami semua publik sudah tahu, bahwa sekarang Prof Jimly juga membantu di timnya Pak Prabowo," ungkap Bivitri Senin (23/10/2023) dalam Program Kompas Petang, Kompas TV.
"Itu saja menurut saya sudah menjadi catatan, yang artinya nanti MKMK harus membuktikan kepada publik dia bisa mandiri meskipun ada catatan-catatan," imbuhnya.
Baca Juga: MK Terima 7 Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim, Bentuk Majelis Kehormatan Terdiri dari 3 Anggota
Menurut Bivitri, MKMK sangat politis, padahal seharusnya anggota MKMK terdiri dari anggota yang independen.
"Potensi (konflik kepentingan -res) pasti ada, tapi saya kira kita nanti harus lihatnya post factum ya, kita lihat dalam proses, setelah fakta-fakta terjadi baru bisa kita simpulkan," jelasnya.
"Kalau potensinya sih ada, karena ini memang sangat politik, harusnya betul-betul independen," tegasnya.
Selain Jimly, Bivitri juga menyoroti anggota MKMK Wahiduddin Adams yang saat ini masih berstatus sebagai hakim MK aktif.
"Dan ada satu hakim MK, Adams, itu juga berpotensi membuat MKMK ini akan cenderung sungkan, barangkali, untuk memberikan sanksi yang terlalu keras," kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.
"Padahal pelanggaran ini sangat berat," tegas peraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris ini.
Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara Tegaskan Pelanggaran Etik Ketua MK dalam Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Pelanggaran yang dimaksud Bivitri ialah dugaan pelanggaran etik yang tertuju kepada Ketua MK Anwar Usman dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.
Permohonan itu diajukan mahasiswa asal Kota Solo bernama Almas Tsaqibirru, yang ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Pasal tersebut melancarkan pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang notabene keponakan Ketua MK Anwar Usman, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto.
Hingga Senin (23/10/2023), sudah ada 7 laporan dugaan pelanggaran etik Ketua MK yang diterima lembaga yudikatif itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.