Kompas TV nasional hukum

Pakar Hukum Tata Negara Tegaskan Pelanggaran Etik Ketua MK dalam Putusan Batas Usia Capres-Cawapres

Kompas.tv - 23 Oktober 2023, 20:37 WIB
pakar-hukum-tata-negara-tegaskan-pelanggaran-etik-ketua-mk-dalam-putusan-batas-usia-capres-cawapres
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti di Program Kompas Petang, Senin (23/10/2023) menilai ada pelanggaran etik oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus gugatan batas usia capres dan cawapres. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menegaskan adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam memutuskan gugatan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Bivitri menjelaskan, pelanggaran etik yang sangat tampak adalah adanya benturan kepentingan antara Ketua MK Anwar dengan permohonan yang diajukan pemohon mengenai pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang menyebutkan nama Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar.

"Menurut saya ada, karena yang paling kelihatan adalah benturan kepentingan, antara Ketua MK dengan nama yang disebut oleh pemohon di dalam permohonannya, ini permohonan yang dikabulkan, langsung terlihat jelas," kata Bivitri di Program Kompas Petang, KompasTV, Senin (23/10/2023).

"Orang yang akan mengambil keuntungan, walaupun bukan pemohon, tapi disebut namanya, itu memang keponakan dari ketua MK, itu yang paling jelas," imbuhnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, Gibran, dan Kaesang Dilaporkan ke KPK Dugaan Kolusi Nepotisme

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu juga mengatakan, bentuk pelanggaran lain yang dilakukan oleh MK terkait legal standing pemohon.

"Legal standing itu kan, apakah kita itu ketika jadi pemohon, memang berhak atau tidak mengajukan permohonannya," jelasnya.

"Biasanya akan diuji apakah betul kita mengalami kerugian sebagai akibat dari pasal yang dimintakan untuk diuji itu," sambungnya.

Biasanya, kata Bivitri, MK sangat ketat dalam mencermati legal standing pemohon.

Bahkan, ia menyebut, MK menolak legal standing partai yang tidak masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Sampai partai yang tidak masuk dalam DPR saja itu tidak boleh atau tidak diterima legal standingnya ketika mempersoalkan sebuah peraturan yang terkait dengan kedudukan partai politik dalam hal ini, yaitu persidential threshold," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu.

Baca Juga: Presiden Jokowi Dilaporkan ke KPK, Kepala Staf Kepresidenan: Hati-Hati Lapor Tanpa Bukti

Ia lantas mempertanyakan pertimbangan MK dalam meloloskan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa hukum bernama Almas Tsaqib Birru.

"Tapi kenapa dalam putusan yang nomor 90 itu Almas Tsaqib Birru, yang salah satu argumentasinya adalah karena dia adalah pengagum dari Gibran Rakabuming, itu bisa diterima sebagai legal standing?" tanya Bivitri.

Ia juga menyoroti pendapat berbeda atau dissenting opinion dari empat hakim MK yang menerangkan bahwa ada ketidaknormalan hukum acara dalam memeriksa permohonan tersebut.

"Kita juga bisa baca semua pendapat berbeda dari empat hakim konstitusi yang dengan gamblang menceritakan, begitu banyak ketidaknormalan dalam hukum acara yang dilakukan sewaktu pemeriksaan permohonan itu berlangsung, sebelum diambilnya putusan tersebut," tuturnya.


Sebelumnya, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu.

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945.

"Mengadili: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. 2 Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 610) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,'" kata Ketua MK Anwar Usman di gedung MK, Senin (16/10/2023).

"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,'" kata Anwar.

Anwar mengungkapkan, ada empat hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x