JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) tak memiliki kewenangan untuk mengubah batasan usia capres-cawapres yang diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Ia menjelaskan, perkara itu masuk dalam kategori open legal policy, sehingga merupakan ranah DPR dan pemerintah.
"Kalau MK itu kerjanya negative legislator. Artinya, hanya membatalkan kalau sesuatu bertentangan dengan kehendak dasar. Tapi kalau hanya orang tidak suka, dan sebagainya, tapi tidak dilarang oleh konstitusi, MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi," kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Baca Juga: Respons Ketum PAN Zulhas soal Gugatan Batas Usia Capres dan Cawapres ke MK
Mantan ketua MK itu mengatakan, dalam sejarah lahirnya MK di Austria pada 1920, Hans Kelsen berdalil bahwa pengadilan itu dibentuk sebagai negative legislator.
"Ketika MK lahir pertama kali di Austria tahun 1920, Hans Kelsen membentuk pengadilan dengan dalil MK itu adalah negative legislator. Sedangkan parlemen adalah positive legislator, dia yang membuat, MK yang membatalkan kalau salah," ujarnya.
Mahfud menambahkan, bila nantinya MK memutuskan kalau perkaran ini bukan sebuah open legal policy, majelis hakim harus menjelaskan dalam putusannya nanti.
"Kalau ini tidak open legal policy, ada masalah yang harus segera diselesaikan, apa alasannya? Itu harus jelas nanti di dalam putusannya. Menurut saya, sederhana sih. Kok terlalu lama memutus?"
"Itu aja yang saya jelaskan dan kita tidak boleh mengintervensi MK. Ilmu ini sudah diketahui oleh semua hakim konstitusi sehingga kita tidak boleh mengintervensi biar dia melihat sendiri, apakah benar ini open legal policy atau enggak?" katanya.
Diberitakan Kompas.tv sebelumnya, perkara uji materi terkait batas usia capres dan cawapres dalam Pasal 167 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh dua pemohon.
Pemohon pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan perorangan bernama Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa.
Sedangkan pemohon Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 bernama Melisa Mylitiachristi Tarundung, juga perorangan.
Pemohon Almas menjelaskan dirinya merupakan warga kota Surakarta yang mengagumi kinerja Gibran Rakabuming Raka selaku wali kota Surakarta.
Menurut pemohon, merujuk pada data jumlah kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 40 tahun dan informasi mengenai kinerja mereka, sudah seharusnya tidak terdapat pembatasan bagi tokoh pemimpin muda untuk dapat mencalonkan diri dalam Pemilu 2024 sebagai capres dan cawapres.
"Untuk itu, MK diminta menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan 'berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah,'" tulis MK dalam siaran pers di laman mkri.id, Selasa, 5 September 2023.
Baca Juga: Gibran: Saya Ikut Putusan PDIP, Tolak Gugatan Batas Usia Minimal Capres-Cawapres
Sedangkan pemohon Melisa meminta MK menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 25 tahun."
Diketahui, ada sembilan gugatan yang masuk ke MK terkait usia batas minimal capres dan cawapres.
Dalam petitumnya, permintaan batas usia capres dan cawapres, beragam. Ada yang minta 21 tahun, 25, 30, dan 35 tahun.
Semisal perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam petitumnya menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 35 tahun."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.