JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) buka suara terkait konflik lahan di Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menekankan kesentosaan masyarakat harus menjadi faktor yang diutamakan dalam mengatasi permasalahan tersebut.
"Apapun juga kesentosaan dari masyarakat itu jadi nomor satu," kata Yahya dalam konferensi pers, Jumat (15/9/2023).
Pihaknya pun menyadari bahwasanya investasi dibutuhkan negara, namun hal itu justru harus dijadikan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khusunya di lingkungan yang menjadi destinasi investasi itu sendiri.
Dengan kata lain, investasi tersebut harus dikembalikan ke tujuan asalnya, yaitu untuk kemaslahatan masyarakat.
Sehingga jika ketika masyarakat dijadikan korban, maka tujuan dari investasi yang diagungkan pemerintah itu melenceng dari tujuannya.
"Resiko-resiko investasi itu hitungan kemudian, pertama-petama kesentosaan masyarakat harus dijaga.
Tidak boleh masyarakat jadi korban, karena itu berarti melenceng dari tujuan investasi itu sendiri," kata Yahya.
Yahya mengatakan pihaknya pun telah menyiapkan satu pernyataan tertulis atas konflik agraria antara warga di Rempang dan PSN Eco City tersebut.
Baca Juga: Kapolri Tambah 4 SSK ke Pulau Rempang, Langah Persuasif Tetap Jadi Utama
Adapun dalam pernyataan resmi PBNU yang dibacakan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla pada konferensi pers itu menegaskan bahwa pihaknya berpandangan persoalan Rempang-Galang merupakan masalah yang terkait pemanfaatan lahan untuk proyek pembangunan.
Persoalan yang semacam ini, kata dia, terus berulang akibat kebijakan yang tidak parsipatoris, yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan kebijakan hingga pelaksanaannya.
"PBNU meminta kepada pemerintah agar mengedepankan musyawarah dan menghindari pendekatan koersif," ujarnya.
Dia kemudian menyinggung terkait muktamar ke-34 di Lampung, di mana saat itu telah dibahas terkait persoalan pengambilan tanah rakyat oleh negara.
"PBNU berpandangan tanah yang telah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses redistribusi lahan oleh pemerintah atau pengelolaan lahan, maka hukum pengambilalihan tanah itu oleh pemerintah adalah haram," katanya.
Hukum haram itu, kata Ulil, jika pengambilalihan oleh pemerintah dilakukan dengan sewenang-wenang.
Meskipun demikian, ia menyebut pemerintah tetap memiliki kewenangan untuk mengambil alih tanah rakyat dengan syarat dilakukan sesuai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.
"Dengan tentu harus memberi keadilan bagi rakyat pemilik dan/atau pengelola lahan," katanya.
Lebih lanjut PBNU mendorong pemerintah untuk segera memperbaiki pola-pola komunikasi dan segera menghadirkan solusi penyelesaian persoalan ini dengan memastikan kelompok yang lemah dipenuhi hak-haknya serta diberikan afirmasi dan fasilitasi.
Baca Juga: Jokowi Kembali Bicara soal Kerusuhan Pulau Rempang: Masa Harus sampai Presiden?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.