Baca Juga: 3 Kementerian RI Masih Bahas Daerah Mana Saja yang Boleh Ekspor Pasir Laut
Meski demikian, aturan pemerintah terkait ekspor pasir laut itu ditentang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena dianggap berbenturan dengan regulasi lain.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan, PP No 26 Tahun 2023 tidak mewajibkan pengusaha yang ingin memanfaatkan pasir laut untuk membuat izin usaha pertambangan (IUP).
Maman menilai aturan itu membuka ruang bagi pengusaha untuk mengeksploitasi pasir laut di sepanjang garis pantai Indonesia.
Wilayah dengan pasir laut yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan, menurut PP No 26/2023, harus di luar kawasan IUP. Sementara itu, untuk pasir laut yang mengandung mineral, pengusaha yang akan memanfaatkannya harus mengajukan IUP terlebih dulu.
”Ini apa maksudnya, saya mohon agar aturan yang bertabrakan ini diklarifikasi. Sebab, seluruh aktivitas yang membutuhkan IUP harus di dalam wilayah IUP,” ujar Maman, Selasa (13/6) dilansir dari Harian Kompas.
Senada, anggota Komisi VII dari Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari, menentang aturan ekspor pasir laut karena dinilai merugikan negara dari sektor ekonomi dan lingkungan.
”Kami meminta PP No 26/2023 ditinjau kembali, bahkan bila perlu dicabut sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat saat ini dan kerusakan lingkungan di masa depan,” ucapnya.
Menurut data liputan Harian Kompas tahun 2002 dan 2003, sejak tahun 1976 sampai 2002, setiap tahun “tanah air” yang dijual Indonesia ke Singapura mencapai 250 juta kubik. Bahkan Indonesia rela jual murah “tanah air” senilai 1,3 dollar Singapura, dari harga wajar 4 dollar Singapura.
Dua dekade lalu, pasir di perairan Batam dan Karimun Kepri dieksploitasi untuk reklamasi Singapura dan dampaknya masih terasa sampai sekarang, yakni menghilangnya Pulau Nipah dan Sebatik.
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.