JAKARTA, KOMPAS.TV – Aturan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) lima tahun sekali merupakan isi konstitusi, dan hanya bisa diubah dengan muatan konstitusi.
Penjelasan itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, dalam Satu Meja The Forum, Rabu (8/3/2023).
“Ketentuan pemilu lima tahun sekali, presiden jabatannya berhenti dalam 5 tahun untuk setiap periode, itu adalah isi konstitusi,” tuturnya.
“Tidak bisa diatur dengan undang-undang, jadi materi muatan konstitusi hanya bisa diubah dengan muatan konstitusi,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika presiden dianggap berhalangan tetap, ada ketentuan yang mengatur bahwa kedudukannya diganti oleh tiga menteri utama, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Baca Juga: Menkopolhukam Mahfud MD Pastikan Pemerintah Jamin Pelaksanaan Tahapan Pemilu 2024
Tapi, lanjut Mahfud, saat masa jabatan presiden usai, maka otomatis masa jabatan menteri di kabinetnya pun turut selesai.
“Tapi harus diingat, begitu presiden habis masa jabatannya, ketiga menteri itu pun habis masa jabatannya, tidak bisa mengganti presiden.”
Mahfud menegaskan, untuk mengubah pelaksanaan pemilu 5 tahun sekali harus mengubah konstitusi, dan perubahan itu akan membutuhkan waktu lama.
Sebab, saat konstitusi diubah, menurutnya akan menyebabkan meledaknya kotak pandora.
“Perubahan konstitusi akan menyebabkan meledaknya kotak pandora tentang konstitusi, nanti yang akan dipersoalkan oleh masyarakat bukan hanya itu, akan banyak, dan itu perlu waktu lama.”
Dalam dialog itu, Mahfud juga mengatakan, secara politis pemerintah akan menolak putusan tersebut karena ‘salah kamar’.
“Secara politik, kita akan katakan, kita akan menolak, karena itu salah kamar,” tuturnya.
“Apakah bisa? Ada keputusan non-executable? Ada. Bahwa keputusan yang sudah inkracht tidak bisa dilaksanakan itu ada tujuh macam, kita cari di situlah nanti, karena ini soal perdata,” tegasnya.
Jika putusan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut dianggap sebagai perkara perdata, maka putusan itu tidak bisa dilaksanakan.
Alasannya, kata dia, keputusan untuk menunda pemilu bukan merupakan hak atau kewenangan KPU, melainkan hak dari konstitusi.
“Kalau ini mau dianggap sebagai putusan perdata, maka putusan itu tidak ada yang bisa diberikan dari KPU.”
“Misalnya keputusannya menunda pemilu, itu bukan haknya KPU, itu haknya konstitusi, sehingga tidak bisa dilaksanakan, non-executable,” tegasnya.
Baca Juga: KPU Menanti Undangan Bahas Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu 2024 dari Komisi II DPR
Bahkan, kata Mahfud, pada saat terakhir nanti, jika putusan itu akan dipaksakan, pemerintah akan menyatakan bahwa itu non-executable.
“Pada saat terakhir nanti, kalau mau dipaksakan, kita akan nyatakan ini non-executable, salah kamarnya. Ini putusan perdata tidak mengikat masalah tata negara, kita katakan begitu, karena ada di aturan perdata itu ada vonis-vonis inkracht yang tidak bisa dieksekusi.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.