JAKARTA, KOMPAS.TV - Politik uang menjadi salah satu hal yang membuat PP Muhammadiyah khawatir menuju pemilu 2024. Bahkan, mereka minta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu untuk mengatur agar hal itu tidak dominan.
Hal itu diungkapkan Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Izzul Muslimin dalam webinar 'Partisipasi Ormas Dalam Pendidikan Pemilih Cerdas Untuk Mewujudkan Pemilu Berkualitas 2024' yang digelar Kemendagri, Rabu (25/1/2023)
Menurut Izzul, persoalan politik uang di pemilu 2024 menjadi perhatian PP Muhammadiyah dan dibahas dalam Muktamar ke-48 beberapa waktu lalu.
Selain itu, ia juga mendengar, ada duit senilai triliunan rupiah yang beredar untuk politik uang itu dan disebutnya bisa membajak demokrasi.
"Di Muktamar ini (bahaya politik uang) salah satu yang direkomendasikan. Ini jadi persoalan cukup berat di pemilu di Indonesia. Di mana pemilu mahal, bukan soal teknis penyelengaraaan pemulu. Tapi mahal dikeluarkan peserta pemilu," jelasnya, Rabu, diikut dari Youtube Dirjen Politik dan Pemerintahan Kemendagri.
Ia menyebut, konsekuensi dari hal itu, jika terpilih maka parpol atau calon peserta pemilu bakal mengembalikan dana yang besar itu ketika menjabat.
"Ini kita khawatir, jadi beban anggota dewan dan pimpinan eksekutif terpilih. Kita berharap, mekanisme pemilu diantisipasi. Supaya persoalan besar ini termininalisir," jelasnya.
Baca Juga: Resmi! Ini Daftar Lengkap Pengurus PP Muhammadiyah Periode 2022-2027 Dipimpin Haedar Nashir
Sebagai contoh, lanjutnya, ia menilai kampaye terbuka bisa dikurangi misalnya di televisi atau hal lain yang rentan gunakan uang jumlah besar.
"Hal ini mestinya diatur, misalnya, untuk biaya iklan atau promosi cukup besar. Ada proses tidak fair. Ada calon yang terbatas dana, ada calon karena punya biaya besar bisa mendominasi," jelasnya.
Kemudian, kata dia, di media sosial ia mengaku tidak tahu bagaimana menghentikan jika ada politik uang di pemilu maupun Pilpres 2024.
Ia pernah mendengar, bahwa putaran uang begitu besar bahkan capai triliunan akibatkan biaya politik jadi sangat mahal.
"Saya pernah dapat informasi, ini jadi perhatian. Dengan biaya di atas 100 trilyun atau minimal 50 trilyun, bisa memenangkan 100 juta suara,
"Kalalu dihitung, misalnya 500 ribu persuara, berarti 50 triliyun biaya. Ini bisa membajak demokrasi, dengan biaya 50 triliyun itu. Ini bahaya jika tidak dibatasi," jelasnya.
Sehingga ke depan, lanjutnya, pemilu tidak lagi disebut liberal dalam pengertian soal pembiayaan yang sangat tinggi.
"Akhirnya mereka yang bisa kuasai adalah mereka yang punya modal besar," tutupnya.
Baca Juga: Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Balas Luhut yang Kritik OTT KPK Sebut Bikin Citra Negara Jelek
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.