JAKARTA, KOMPAS.TV – Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengaku banyak petinggi partai politik (parpol) yang menanyakan padanya, apakah survei tentang reshuffle kabinet adalah settingan presiden.
Penjelasan itu disampaikan Yunarto dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (11/1/2023).
Menurutnya, pertanyaan wartawan tentang reshuffle kabinet tersebut muncul pada tanggal 23 Desember 2022.
“Gini, munculnya ini 23 Desember. Sehari sebelumnya ada rilis survei Charta Politika, dan kalau dilihat rekaman lengkap, presiden ditanya bagaimana respons terhadap survei Charta Politika,” tuturnya.
“Kenapa saya harus klarifikasi? Setelah itu, banyak beberapa petinggi partai nelepon saya, tanya, ‘Ini survei settingan presiden atau bukan?’ Misalnya untuk nendang seseorang atau partai tertentu.”
Baca Juga: Analisis Kode dari Megawati, Charta Politika: Spekulasi Mba Puan atau Mas Ganjar, tapi...
Yunarto menambahkan, survei tersebut bukan hanya menanyakan tentang reshuffle kabinet, tetapi tentang banyak hal.
Pertanyaan tentang reshuffle kabinet, kata dia, bukan pertama kalinya ditanyakan dalam survei Charta Politika, melainkan sudah yang keenam kali.
“Apakah baru ditanyakan sekarang? Tidak. Dalam enam kali rilis kita, ini selalu ditanyakan.”
Tetapi, kenapa menarik perhatian publik dan wartawan?
"Karena memang ada momen terkait dengan isu mengenai keluarnya NasDem atau tidak. Dikaitkan secara politik, dan saat itu door stop, lho.”
Jadi, lanjut dia, jika dirinya mau berspekulasi, dilihat dari momen, bukan Jokowi yang memulai isu reshuffle kabinet tersebut.
“Wartawan melakukan door stop dan tidak mungkin untuk tidak ditanya, karena Charta sudah menanyakan ini enam kali dan enam kali rilis, wartawan baru kali ini menanyakan pada Pak Jokowi.”
“Jadi, saya belum melihat ada indikasi kuat Pak Jokowi sedang mengeluarkan sinyalemen politik untuk reshuffle,” tuturnya.
Dalam acara itu, Yunarto juga menegaskan catatan kritisnya untuk pihak-pihak yang dibahas dalam pembahasan reshuffle tersebut.
Untuk Jokowi, ia memberikan catatan kritis tentang bagaimana reshuffle harus diartikan sebagai tata ulang kinerja.
“Pak Jokowi, simpel, bagaimana reshuffle harus tetap diartikan tata ulang kinerja, bahwa bobotnya ada politik, ada variabel lain, tentu saja itu jadi hak prerogatif presiden, tapi jangan sampai hanya pada bobot politik semata.”
“Karena bukan tata ulang koalisi arti dari reshuffle,” ucapnya.
Catatan kritis untuk kader PDI Perjuangan, yang berani blak-blakan berbicara mengenai dua menteri, dan sikap politik NasDem, adalah ia berharap agar isu reshuffle bukan karena sekadar perbedaan sikap politik.
“Kalau memang buruk kinerja dua menteri tersebut, lakukan itu dalam sebuah diskusi, yang ketika diganti pun bobotnya kualitas dan perbaikan kinerja juga ada.”
Baca Juga: Staf Khusus Presiden Beberkan 2 Pertimbangan Reshuffle, Kinerja dan Politis
“Terakhir, buat teman-teman NasDem, saya pernah sampaikan ini ke Bang Surya Paloh langsung, persoalannya bukan Anies,” kata dia.
Menurutnya, yang akan menimbulkan polemik adalah jika kemudian ada rencana deklarasi atau koalisi dengan dua partai oposisi.
“Kalau itu dilakukan, artinya NasDem sudah memilih bergabung dengan dua partai yang memiliki cara pandang yang berbeda tentang negara.”
“Kita sudah punya pengalaman empiris, pada tahun 2018, PAN melakukan itu, dan PAN mengundurkan diri,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.