JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti angkat bicara menanggapi penerbitan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja.
Bivitri mengungkapkan, ada dampak setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja tersebut.
Baca Juga: Cara Download Perppu Cipta Kerja yang Dibuka untuk Publik
Pertama, kata Bivitri, Undang-Undang Cipta Kerja yang memiliki daya rusak luar biasa pada lingkungan, hak-hak buruh, dan sebagainya, jadi dianggap berlaku lagi.
Kedua, praktik buruk tentang pemerintah yang mengabaikan konstitusi dan dua cabang kekuasaan negara lainnya, yakni legislatif serta yudikatif.
Menurut Bivitri, hal tersebut bisa menjadi pola baru yang makin menguatkan karakteristik otoritarianisme.
"Apalagi, dari kemarin Pak Mahfud selalu bilang Perppu itu hak subjektif presiden," kata Bivitri ketika dikutip dari Tribunnews.com pada Senin (2/1/2023).
Baca Juga: YLBHI Kecam Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Tunjukkan Otoritarianisme Pemerintahan Jokowi
Bivitri mengatakan, secara teori Perppu memang sifatnya demikian karena ada pembatasan seperti harus ada hal kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan aturan tersebut.
"Secara teori memang begitu, makanya ada pembatasan-pembatasan tentang 'hal ihwal kegentingan memaksa', tetapi justru ini yang diinjak-injak oleh pemerintah sekarang," ucap Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, Indonesia, merupakan negara hukum. Oleh karena itu, menurutnya, semua harus ada ukurannya yaitu konstitusi.
"Tidak bisa subjektivitas presiden dijadikan dasar dalam bertindak, itu jadinya seperti titah raja, bukan seperti dalam negara hukum," ujar Bivitri.
Baca Juga: Jokowi: Perppu Cipta Kerja untuk Beri Kepastian Hukum kepada Investor
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja.
Lantas, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan bahwa penerbitan Perppu 2 tahun 2022 tersebut murni karena alasan medesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.
“Karena ada kebutuhan yang mendesak ya, kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat,” kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, (30/12/2022).
Mahfud mengatakan, terdapat 3 alasan penerbitan Perppu dalam putusan tersebut, yakni mendesak, ada kekosongan hukum, maupun upaya memberikan kepastian hukum.
Baca Juga: Perppu Cipta Kerja Terbit, Airlangga: Isinya yang Utama soal Ketenagakerjaan dan Upah Minimum
Tiga alasan tersebut, kata Mahfud MD, dinilai cukup untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2022.
"Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak," ujar Mahfud.
"Hal itu seperti tadi disampaikan oleh Bapak Menko Perekonomian, yaitu misalnya dampak perang Ukraina yang secara global maupun nasional mempengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia."
Menurut Mahfud, pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengantisipasi potensi ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, masalah suku bunga, kondisi geopolitik serta krisis pangan.
Baca Juga: Jokowi Diminta Segera Kirim Perppu Pemilu ke DPR, Anggota Komisi II: Biar Cepat Diambil Keputusan
Langkah strategis tersebut tidak bisa menunggu perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan MK 25 November lalu.
"Oleh sebab itu, langkah strategis diperlukan. Untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan, maka Perpu ini harus dikeluarkan lebih dulu," ujar Mahfud.
"Itulah sebabnya kemudian hari ini tanggal 30 Desember Tahun 2022 presiden Sudah menandatangani Perpu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja."
Sumber : Tribunnews.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.