JAKARTA, KOMPAS.TV – Pengusutan Tragedi Kanjuruhan yang dilakukan polisi dinilai seperti mengulang cara dan proses penanganan kasus Ferdy Sambo pada saat kasus itu muncul. Ada sejumlah kesamaan yang dinilai janggal dari dua kasus itu, seperti dugaan adanya pemaksaan, serta adanya dugaan intimidasi kepada para korban.
Kejanggalan itu, misalnya, bisa terlihat dari rekonstruksi kepolisian di Mapolda Jatim hingga soal dugaan CCTV yang hilang atau dihapus usai pertandingan.
Hal itu diungkapkan pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto yang menilai, ada pola penanganan seperti kasus Sambo juga terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan.
Ia lantas mencontohkan, dalam penanganan awal kasus Sambo ada upaya penghapusan CCTV.
Adapun dalam penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan pun, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menemukan adanya rekaman CCTV yang juga diduga dihapus.
”Kejanggalan lain adalah rekonstruksi dilakukan di Polda Jatim pada Rabu (19/10/2022) ini. Kenapa tidak di Polres Malang yang dekat dengan stadion?” Papar Bambang kepada KOMPAS.TV Kamis (20/10/2022)
“Kenapa harus membuat saksi yang mungkin juga korban tragedi itu bersusah payah harus datang ke Mapolda Jatim di Surabaya? Itu memberatkan,” lanjutnya.
Baca Juga: Dicibir karena Fun Footbal, PSSI: Sudah Disampaikan ke Presiden FIFA, Ada Tragedi Kanjuruhan
Bambang lantas menjelaskan, kejanggalan terlihat di rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan yang dilakukan di Mapolda Jatim, Rabu (19/10/2022).
Padahal, lanjut Bambang, rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan, bertujuan mencari penggambaran faktual bagaimana tragedi yang membuat 133 jiwa melayag itu terjadi.
Rekonstruksi itu harusnya juga menguak fakta penggambaran bagaimana gas air mata yang ditembakkan bisa membuat kepanikan, bagaimana sudut tembakan, dan lainnya.
"Ada suasana atau fakta yang tak bisa digantikan dengan mengubah lokasi rekonstruksi dari Stadion Kanjuruhan ke lapangan Polda Jatim. Misalnya, arah angin dan konstruksi bangunan stadion," jelasnya.
”Rekonstruksi harusnya bisa di lokasi dan kalaupun dilakukan pemeriksaan, pun pemeriksaan tidak harus di polda, tapi di polres. Kenapa harus merepotkan saksi, korban, dan ahli waris korban. Di Polres terdekat bisa," paparnya.
"Makanya, kalau upayanya seperti itu, akhirnya persepsi publik seolah-olah polisi mengada-ada atau melakukan intervensi atau pengondisian pada saksi,” tambahnya.
Baca Juga: Kapolda Jatim Bantah Batalnya Autopsi 2 Korban Tragedi Kanjuruhan Karena Intimidasi Polisi
Bambang lantas menuturkan, model rekonstruksi tidak di lokasi kejadian pun mirip dengan dugaan kasus pelecehan seksual dalam kasus Sambo, yakni dilakukan di lokasi lain dan tanpa saksi.
Tersangka pun sama, yakni para prajurit. Dalam Tragedi Kanjuruhan ini mereka juga berperan sebagai pelaksana lapangan.
”Sampai sekarang polisi belum menyampaikan siapa bertanggung jawab atas tragedi itu. Itu paling penting sebenarnya. Dalam event besar pasti ada penanggung jawabnya. Baik penanggung jawab keamanan maupun event," paparnya.
"Dan, merekalah yang harus ikut bertanggung jawab selain pelaksana di lapangan yang terbukti di lapangan. Misal, kapolres dan kapolda,” sambungnya.
Kepala Polres Malang dan Kepala Polda Jatim, menurut Bambang, adalah penanggung jawab keamanan dan ketertiban di Jatim.
Namun, kata Bambang, mereka justru dimutasi dan sampai sekarang belum dimintai pertanggungjawaban. Harusnya keduanya turut diperiksa untuk kasus pidana.
”Ini sangat kontraproduktif dengan upaya memperbaiki citra Polri. Sebab, sejak awal statemen sudah blunder. Ditambah dengan sejumlah kejanggalan, makin membuat nama Polri hancur dan mencederai kepercayaan rakyat,” katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.