JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan penyidik Bareskrim Polri dan Jaksa Penuntut Umum tidak memasukkan Pasal 52 KUHP dalam perkara obstruction of justice.
Menurut Hamid Pasal 52 KUHP merupakan pemberat dari Pasal 221 ayat (1) ke-2 dan atau Pasal 233 KUHP.
Adapun Pasal 52 KUHP berbunyi Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Baca Juga: 6 Terdakwa Obstruction of Justice Punya Peran yang Berbeda, Bagaimana dengan Hukuman Maksimalnya?
"Jadi ancaman pidananya bukan sekadar empat tahun penjara seperti dalam Pasal 233 KUHP tetapi diperberat sepertiga karena dia adalah aparat penegak hukum yang punya kewajiban untuk membuka kejahatan bukan menutupinya," ujar Hamid di program Breaking News KOMPAS TV, Rabu (19/10/2022).
Hamid menambahkan dakwaan JPU dalam perkara obstruction of justice sangat lengkap untuk menjerat para terdakwa dengan Pasal 221 dan Pasal 233 KUHP, tetapi tidak memasukkan pasal pemberat pidana yang sangat krusial.
Hamid kembali mengingatkan para terdakwa merupakan aparat penegak hukum yang punya kewajiban untuk membuka kejahatan, namun dengan jabatannya justru menutupinya kejahatan.
"Ini yang hilang dalam dakwaan jaksa dan tidak memasukkan Pasal 52 KUHP yang krusial," ujar Hamid.
Baca Juga: Ekspresi Brigjen Hendra di Sidang Obstruction of Justice, Lepas Masker dan Tebar Senyum
Lebih lanjut Hamid menghormati jika penyidik Bareskrim Polri dan JPU memilih untuk memasukkan UU ITE yang berkaitan dengan perusakan CCTV.
Menurut Hamid langkah JPU memasukkan UU ITE ini tak lain agar ancaman pidana para terdakwa bisa diperberat.
Sebab ancaman hukuman hukum pidana Pasal 221 dan Pasal 223 KUHP cenderung ringan dan memilih Pasal 49 UU ITE yang memiliki ancaman hukuman 10 tahun penjara atas perbuatan mengganggu kinerja sistem elektronik.
Baca Juga: Terbongkar! Peran Kombes Agus Nurpatria: Sisir, Rusak dan Sembunyikan CCTV Kasus Sambo
Namun penerapan pasal 49 UU ITE ini akan sulit dibuktikan lantaran ada unsur perintah dari pimpinan untuk merusak barang bukti.
"Jadi konstruksi hukum ini harus bisa dibuktikan kejaksaan dengan unsur sengaja dan para terdakwa tidak dalam posisi yang overmacht," ujar Hamid.
Sebelumnya enam tersangka obstruction of justice menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022).
Para tersangka yang menjalani sidang yakni Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rahman Arifin, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto dan Irfan Widyanto.
Baca Juga: Chuck Putranto Perintahkan Irfan Widyanto untuk Mengambil DVR CCTV di Duren Tiga!
Keenam tersangka didakwa melakukan tindak pidana menghalangi proses penyidikan bersama-sama dengan Ferdy Sambo.
Hendra Kurniawan meminta bawahannya mempercayai skenario Sambo dan memerintahkan untuk melakukan penyisiran terhadap CCTV vital di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo yang menjadi TKP pembunuhan berencana Brigadir J.
Kemudian Agus Nurpatria dan terdakwa lainnya menjalankan perintah tersebut, kemudian merusak dan menghancurkan salinan.
JPU menyatakan para terdakwa melanggar Pasal 49 Jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat 1 Jo Pasal 32 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE, Pasal 55 ayat (1) dan atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 dan atau Pasal 233 KUHP.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.