JAKARTA, KOMPAS.TV – Peluncuran Rumah Pemilu 2024 Kompas TV, Rabu (15/6/2022) malam juga membahas ketertarikan generasi muda terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dalam peluncuran melalui acara Satu Meja The Forum Spesial di Kompas TV tersebut, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Bayu Satria menyebut generasinya sangat tertarik pada perhelatan pemilu.
“Kalau dibilang interest pasti interest, walaupun saya pertama kali mengikuti pemilu baru pada tahun 2019 kemarin. Tadi dilihat (dari data) bahwa ada 30,1 juta pemilih dari generasi kami,” ucapnya.
Meski demikian, menurut Bayu, belakangan ini peran generasi muda dalam kancah politik seakan-akan dikucilkan dan hanya jadi penonton.
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019 lalu, mahasiswa meminta agar calon presiden melakukan debat terbuka di lingkungan kampus.
“Tapi kemudian tidak ada calon presiden yang menerima debat terbuka tersebut.”
“Kemudian, kami melihat juga di sini ada polarisasi politik yang terlalu parah. Kalau saya belajar juga di kelas, sebenarnya polarisasi politik ini terjadi di antara elit tapi hanya terjadi di struktur bawah masyarakat,” tuturnya.
Polarisasi politik yang terjadi di tingkat bawah tersebut dibenarkan oleh aktivis sosial, Inaya Wahid.
Menurutnya, selama ini di tingkat atas atau elit politik, hubungan yang ada baik-baik saja. Sementara di tingkat bawah justru terpecah.
Baca Juga: Harapan Generasi Muda di Pemilu 2024: Setop Politik Transaksional dan Polarisasi
“Sering kali saya melihat, seperti tadi diomongin Mas Bayu di atas, di elit baik-baik saja. Tapi, kemudian di bawahnya yang terbagi-bagi, terpecah-pecah, dan kita lihat sendiri dari yang kemarin-kemarin, bagaimana eksesnya sampai hari ini.”
Narasumber lain dalam acara itu, Totok Suryaningtyas, peneliti senior Litbang Kompas, mengatakan, minat memilih generasi Y dan Z sebenarnya normatif.
“Jadi apa yang kita lihat dengan generasi Y dan Z misalnya, itu polanya tidak terlalu jauh berbeda dengan pemilih pada umumnya, pemilih di luar kategori itu,” jelasnya.
Tetapi, lanjut Totok, memang ada yang khas dalam hal dinamika dan juga loyalitas.
Loyalitas generasi muda terhadap partai politik disebutnya relatif lebih rendah dibanding generasi yang lebih tua.
“Loyalitas kepada orang cenderung lebih tinggi. Dan juga tingkat golputnya cenderung lebih tinggi jika harapannya tidak terpenuhi.”
Sementara, Djayadi Hanan, Sekjen Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), mengatakan, tingkat keinginan berpartisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu selalu tinggi.
Itu bukan hanya terjadi pada generasi muda saja, tetapi juga pada generasi-generasi yang lebih tua.
“Kalau kita tanya pada masyarakat secara umum, maupun kepada generasi muda, tingkat atau keinginan berpartisipasi itu selalu antara 80 sampai 90 persen.”
“Tapi kalau kita tanya misalnya apakah tertarik pada politik atau mendiskusikan hal yang berbau politik, biasanya ketertarikannya (generasi muda) antara 30 sampai 35 persen,” lanjutnya.
Dari data tersebut, kata dia, dapat dilihat adanya gap atau kesenjangan antara keinginan berpartisipasi pada pemilu dengan ketertarikan kepada politik.
Meski demikian, ia menerjemahkannya bahwa politik yang diterjemahkan oleh generasi muda adalah hard politik.
“Tampaknya politik yang dipahami oleh anak-anak muda, mungkin juga seperti Bayu, adalah politik yang dalam bahasa kita hard politic, perebutan ketua umum partai, perebutan kepala daerah.”
Tantangannya, lanjut Djayadi, adalah bagaimana menyampaikan kepada generasi Y dan Z bahwa politik itu bukan hanya soal pemilihan ketua umum partai atau soal saling gontok-gontokan rebutan kekuasaan.
Baca Juga: Ketua KPU, Artis, hingga Duta Wisata Indonesia Bahas Pemilihan Umum dan Generasi Muda
“Tetapi juga menyangkut hal yang terkait nasib hidup mereka sehari-hari.”
“Seperti soal pendidikan, asuransi kesehatan, soal pekerjaan yang akan mereka dapat setelah selesai kuliah, atau apakah orang tuanya bisa menyekolahkan mereka atau tidak,” urainya.
Menanggapi hal itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengatakan Bawaslu menjalankan fungsi pengawasan terhadap tahapan yang akan dilaksanakan oleh KPU.
Tapi, kata dia, yang lebih penting adalah bagaimana menyambung, mengaitkan partisipasi masyarakat dengan partai politik.
“Saya kira juga menjauhkan partai politik dari masyarakat bukan hal yang harus kita dorong,” kata Bagja.
“Tapi saya yakin, ada teman-teman partai politik yang lagi bergerak, mengolah kadernya untuk kemudian berpartisipasi.”
Hal inilah yang menurutnya harus didorong, bagaimana partai politik mengajarkan pada kadernya untuk bersaing sehat, tanpa hoaks, berita bohong, dan kawan-kawan.
Baca Juga: Rumah Pemilu 2024, Kompas TV Kawal Pesta Demokrasi
Persaingan sehat ini nantinya akan masuk pada masyarakat, khususnya generasi muda.
“Dan generasi muda pertanyaannya bukan apatis atau tidak? Tapi maukah, siapkah generasi muda menganggap generasi politik sebagai sarana perjuangan mereka.”
“Ketika tidak mau ikut dalam partai politik, itu kesalahan pertama sebagai mahasiswa sebenarnya,” lanjutnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.