Kompas TV nasional laporan khusus

Dua Tahun Pandemi di RI: Ketar-ketir PTM dan Nasib Dunia Pendidikan

Kompas.tv - 2 Maret 2022, 09:40 WIB
dua-tahun-pandemi-di-ri-ketar-ketir-ptm-dan-nasib-dunia-pendidikan
Ilustrasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM). Selama dua tahun pandemi Covid-19, bagaimana pendidikan kita? (Sumber: Kompastv/Ant)
Penulis : Dedik Priyanto | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV – Muhammad Rayhan, seorang siswa kelas 5 SD Negeri Kelurahan Baru, Jakarta Timur, berpikir ia masih bisa sekolah dan berjumpa teman-temannya seperti biasa setelah hampir dua tahun pandemi hanya belajar lewat daring. Tapi kegembiraan mendadak sirna kala pihak sekolah mengumumkan pembelajaran kembali dilakukan jarak jauh karena ditemukan kasus Covid-19.

“Pas mulai masuk sekolah, ada teman yang kena corona, sekolah Rayhan libur lagi,” kata Rayhan kepada KOMPAS TV, Senin (28/2/2022).

Kejadian itu terjadi pada 1 Februari 2022, Rayhan pun harus dites antigen oleh pihak sekolah, hasilnya negatif. Tapi kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolahnya dihentikan sementara, diganti dengan daring lagi.

Bagi Rayhan, ditutupnya sekolah bikin sedih. Tapi tidak bagi orang tuanya yang merasa kejadian ini seperti alarm yang bikin gelisah.

“Bosen (anaknya) sekolah online mulu. Kalau tidak sekolah, nanti bagaimana pendidikannya? Tapi sekolah langsung, kok ya takut, corona. Bismillah sajalah,” kata Nurhana (50 tahun) ibu dari Rayhan.

Dua tahun pandemi Covid-19 di Indonesia membuat orangtua dilema. Di satu sisi, para orang tua memang ketakutan jika sewaktu-waktu virus ini menjangkiti anak-anak mereka, tapi di sisi lain khawatir anak-anak mereka mengalami kemunduran dalam proses belajar.

Lantas, apakah siswa harus tetap belajar secara daring atau kembali ke sekolah?

Praktisi Pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin menilai pembelajaran pertemuan tatap muka (PTM) harus dievaluasi, apalagi ada hal yang membuat selama dua tahun pandemi jadi kendala dalam dunia pendidikan.

Kendala itu terkait  data dan transparansi dari pemerintah soal sekolah-sekolah yang terimbas Covid-19.  Faktanya, kata Mukhlisin, data itu sulit didapatkan atau tidak diupdate secara berkala.

“PTM memang membawa angin segar, terutama para siswa yang sudah lama tidak beraktivitas di sekolah. Rasa kangen bisa terobati. Tapi, pemerintah perlu evaluasi kebijakan ini berbagai daerah. Perlu data akurat dan transparan, sayangnya itu sulit ditemui,” kata Mukhlisin, Kamis (24/2/2022).

Mukhlisin lantas menunjukkan data survei internal dari situs resmi Kemendikbudristek, per Kamis, 23 September 2021, tercatat ada 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei.

Dari angka tersebut, tercatat ada 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona. Dalam amatan KOMPAS TV, data dari kemendikbud tersebut belum diupdate secara berkala dan rinci terkait jumlah data sekolah, guru dan pelajar yang terimbas Covid-19.

Epidemiolog dari Univeristas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria mengatakan sekolah harus memperketat protokol kesehatan jika PTM terus dilakukan.

“PTM di sekolah sebenarnya bisa jadi ruang aman, asalkan (protokol kesehatan) dilakukan dengan aman. Jika tidak dilakukan dengan baik, dapat jadi tempat penularan Covid-19,” ujarnya.

Ia pun menyebut, PTM bisa terus dilakukan sebagai kebijkan asalkan penularan Covid-19 secara nasional juga melandai.

“Tetap melakukan protokol kesehatan, terutama jika sakit, tidak boleh ke sekolah,” ujarnya.

Baca Juga: Luhut Jelaskan Indonesia akan Transisi Bertahap dari Pandemi Covid 19 ke Endemi

Dua Tahun Pandemi yang Bikin Stres Para Pelajar

Dua tahun pandemi Covid ini ternyata memiliki efek buruk bagi siswa khususnya terkait kesehatan mental. Bahkan, beberapa siswa dan pelajar mengalami stres hingga berujung depresi.

Menurut survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 murid SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu, sebanyak 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama pandemi. 

Menurut pernyataan KPAI, keluarga menduga anak itu depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19.

KPAI juga mencatat seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan, dan seorang siswa MTs di Tarakan, Kalimantan Utara, yang bunuh diri karena diduga depresi selama pembelajaran jarak jauh.

"KPAI mendorong Kemdikbud RI, Kementerian Agama RI, Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ pada fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan persnya, Jumat (30/10/2020).

Mukhlisin menilai, hal ini terjadi salah satunya lantaran tingkat stres tinggi selama proses belajar di rumah. Meski begitu, kata dia, selama dua tahun pandemi ada juga sisi positifnya ketika proses pembelajaran justru terjadi di rumah.

“Ada siswa di Maluku yang bantu orang tuanya berkebun dan menjual hasil laut. Di Yogyakarta, siswa malah jualan kopi. Waktu melimpah bikin beberapa siswa bisa mengembangkan diri, tapi saya juga melihat lebih banyak yang jenuh akibat tidak jumpa teman-temannya,” ujarnya.

Dua Tahun Pandemi: Sekolah Adaptasi, Pemerintah Hanya Fokus Teknologi

Selama dua tahun pandemi yang penuh ketidakpastian, siswa dan sekolah bikin adaptasi. Pemerintah justru sibuk fokus di urusan teknologi saja. 

Pemerintah, kata Mukhlisin, harus mendampingi para guru untuk terus memperkaya pendekatan dan model pembelajaran selama pandemi.

“Saya kira, untuk mengurangi gap digital divide dalam pembelajaran pemerintah perlu mengembangkan model-model pembelajaran jarak jauh, non-digital teknologi yang inklusif,” ujarnya.

Di beberapa daerah, misalnya para guru mengembangkan pembelajaran berbasis radio komunitas, atau di Jabar dinas pendidikan mengembangkan perangkat pembelajaran tas bakti guru kunjung.

“Inovasi-inovasi seperti ini sangat membantu selama proses dua tahun pandemi Covid yang membuat dunia pendidikan beradaptasi,” ujarnya. 

Jika Pandemi Jadi Endemi, Bagaimana Dunia Pendidikan?

Bayu Satria, epedemiolog UGM mengingatkan, varian baru Covid-19 ke depan masih memungkinkan muncul pasca Omicron maupun Delta yang sudah masuk ke Indonesia. Namun, ada kemungkinan pandemi berubah jadi endemi. 

“Varian masih mungkin akan muncul selama masih terjadi penularan terutama di daerah yang cakupan vaksinasinya rendah seperti negara di Afrika. Sehingga pengawasan di pintu masuk masih sangat diperlukan. Wajib sudah vaksin (lebih baik lagi booster) harus jadi syarat utama untuk memperkecil kemungkinan penularan,” ujarnya.

Ia pun menyarankan, pemerintah meniru negara lain yang lebih dulu sukses menangani pandemi di dunia pendidikan.

“Negara yang cukup bagus dalam hal penanganan pandemi dan terkait pendidikan itu Singapura. Pelaksanaan pendidikannya terhitung lebih bagus dari yang lain di mana protokol di dalam sekolahnya sangat ketat,” tuturnya.

Itulah dilema yang harus dialami siswa seperti Rayhan atau sosok ibu seperti Nurhana, apalagi jika pandemi berkepanjangan tanpa ujung. Pemerintah tentunya harus memikirkan ulang kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x