Dua tahun pandemi Covid ini ternyata memiliki efek buruk bagi siswa khususnya terkait kesehatan mental. Bahkan, beberapa siswa dan pelajar mengalami stres hingga berujung depresi.
Menurut survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terhadap lebih dari 3.200 murid SD hingga SMA pada Juli 2020 lalu, sebanyak 13% responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat selama pandemi.
Menurut pernyataan KPAI, keluarga menduga anak itu depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19.
KPAI juga mencatat seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan, dan seorang siswa MTs di Tarakan, Kalimantan Utara, yang bunuh diri karena diduga depresi selama pembelajaran jarak jauh.
"KPAI mendorong Kemdikbud RI, Kementerian Agama RI, Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ pada fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan persnya, Jumat (30/10/2020).
Mukhlisin menilai, hal ini terjadi salah satunya lantaran tingkat stres tinggi selama proses belajar di rumah. Meski begitu, kata dia, selama dua tahun pandemi ada juga sisi positifnya ketika proses pembelajaran justru terjadi di rumah.
“Ada siswa di Maluku yang bantu orang tuanya berkebun dan menjual hasil laut. Di Yogyakarta, siswa malah jualan kopi. Waktu melimpah bikin beberapa siswa bisa mengembangkan diri, tapi saya juga melihat lebih banyak yang jenuh akibat tidak jumpa teman-temannya,” ujarnya.
Selama dua tahun pandemi yang penuh ketidakpastian, siswa dan sekolah bikin adaptasi. Pemerintah justru sibuk fokus di urusan teknologi saja.
Pemerintah, kata Mukhlisin, harus mendampingi para guru untuk terus memperkaya pendekatan dan model pembelajaran selama pandemi.
“Saya kira, untuk mengurangi gap digital divide dalam pembelajaran pemerintah perlu mengembangkan model-model pembelajaran jarak jauh, non-digital teknologi yang inklusif,” ujarnya.
Di beberapa daerah, misalnya para guru mengembangkan pembelajaran berbasis radio komunitas, atau di Jabar dinas pendidikan mengembangkan perangkat pembelajaran tas bakti guru kunjung.
“Inovasi-inovasi seperti ini sangat membantu selama proses dua tahun pandemi Covid yang membuat dunia pendidikan beradaptasi,” ujarnya.
Bayu Satria, epedemiolog UGM mengingatkan, varian baru Covid-19 ke depan masih memungkinkan muncul pasca Omicron maupun Delta yang sudah masuk ke Indonesia. Namun, ada kemungkinan pandemi berubah jadi endemi.
“Varian masih mungkin akan muncul selama masih terjadi penularan terutama di daerah yang cakupan vaksinasinya rendah seperti negara di Afrika. Sehingga pengawasan di pintu masuk masih sangat diperlukan. Wajib sudah vaksin (lebih baik lagi booster) harus jadi syarat utama untuk memperkecil kemungkinan penularan,” ujarnya.
Ia pun menyarankan, pemerintah meniru negara lain yang lebih dulu sukses menangani pandemi di dunia pendidikan.
“Negara yang cukup bagus dalam hal penanganan pandemi dan terkait pendidikan itu Singapura. Pelaksanaan pendidikannya terhitung lebih bagus dari yang lain di mana protokol di dalam sekolahnya sangat ketat,” tuturnya.
Itulah dilema yang harus dialami siswa seperti Rayhan atau sosok ibu seperti Nurhana, apalagi jika pandemi berkepanjangan tanpa ujung. Pemerintah tentunya harus memikirkan ulang kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.