JAKARTA, KOMPAS TV - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut, hanya terdapat tiga cara yang mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi untuk melakukan penundaan gelaran Pemilu 2024 mendatang.
Ia menjelaskan, pertama yaitu melakukan amendemen UUD 1945; Presiden mengeluarkan dekrit; dan menciptakan konvensi ketatanegaraan.
"Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amendemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara," kata Yusril kepada KOMPAS TV, Senin (28/2/2022).
Baca Juga: Faldo Maldini Tepis Transaksi Politik di Balik Usulan Pemilu 2024 Ditunda: Jangan Seret Pemerintah
Ketiga cara ini, kata Yusril, sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.
Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.
"Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini."
"Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum," ujarnya.
Baca Juga: Pengamat Politik: Penundaan Pemilu dapat Mengarah ke Perubahan Konstitusi soal Pemilihan Presiden
Sementara, Pasal 22E UUD 1945 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma pelaksanaa Pemilu.
“Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu."
"Ayat (8) semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum," katanya.
Menurut dia, dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 1945 itu, tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
"Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu."
"Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru.
Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru," kata dia.
Baca Juga: Pengamat Politik Sayangkan Ketua PBNU Sebut Penundaan Pemilu 2024 Masuk Akal
Selain itu, di luar mengubah UUD 1945 adalah dengan cara Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu.
Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Mengutip pernyataam Professor Ivor Jennings revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, menciptakan hukum yang sah.
"Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang."
"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945?" katanya.
Baca Juga: PDIP Sebut Wacana Penundaan Pemilu yang Diusul PKB Melanggar Konstitusi
Ketua Umum PBB itu menambahkan, Presiden Soekarno dahulu pernah mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
"Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau negara dalam keadaan bahaya, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI."
"Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959," katanya.
Tak hanya itu, era Presiden Abdurrachman Wahid pun pernah juga mengeluarkan Dekrit Presiden, tapi tak berhasil.
"Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001."
"Saya mengingatkan Presiden dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang berkewajiban memberikan nasehat hukum kepada Presiden. Saya katakan bahwa rencana Presiden mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko," kata dia.
Baca Juga: Respons Usulan Penundaan Pemilu, PDIP: Berpolitik Harus Setia pada Konstitusi
Ia menjelaskan, bila tindakan itu mau disamakan dengan tindakan era Presiden Soekarnor pada 5 Juli 1959, landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk itu tidak ada.
"Lagi pula dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer. Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut," katanya.
Jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention.
"Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 45."
"Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah “kolaborator Jepang” yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda."
"Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda," ujarnya.
Baca Juga: Sekjen Gelora Khawatir Konflik Rusia-Ukraina Dikaitkan Tunda Pemilu 2024: Semoga Hanya Suudzon Saya
Ia menyebut, dengan Maklumat Nomor X itu sistem presidensial berubah menjadi parlementer. Soekarno-Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir.
"Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab. Perubahan dalam praktik itu, menurut Prof Dr Ismail Suny terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang."
"Akibat situasi perang kemerdekaan, Pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan," kata dia.
Dalam Pasal 22E UUD 1945 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.
Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi. Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.
UUD 1945 yang menurut ketentuan dua ayat dalam aturan tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Baca Juga: Faldo Maldini Tepis Transaksi Politik di Balik Usulan Pemilu 2024 Ditunda: Jangan Seret Pemerintah
"Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan. Teks UUD 1945nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut."
"Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah. Seperti telah saya telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 1945 itu sah atau tidak," kata dia.
Menurut dia, sekarang zaman sudah berubah. Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Ahli-ahli tambah banyak.
Baca Juga: Yusril: Penundaan Pemilu Akan Timbulkan Konflik Politik yang Bisa Meluas ke Mana-mana
"Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara."
"Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada “penyelewengan” terhadap UUD 45. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," katanya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.