Kompas TV nasional politik

Yusril: Hanya Ada 3 Cara untuk Menunda Pemilu 2024

Kompas.tv - 28 Februari 2022, 15:16 WIB
yusril-hanya-ada-3-cara-untuk-menunda-pemilu-2024
Kuasa hukum pasangan Joko Widodo-Maruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, saat ditemui di kantornya, Kasablanka Office Tower, Jakarta, Jumat (12/7/2019). (Sumber: (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO))
Penulis : Fadel Prayoga | Editor : Iman Firdaus

"Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959," katanya. 

Tak hanya itu, era Presiden Abdurrachman Wahid pun pernah juga mengeluarkan Dekrit Presiden, tapi tak berhasil.

"Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001."

"Saya mengingatkan Presiden dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang berkewajiban memberikan nasehat hukum kepada Presiden.  Saya katakan bahwa rencana Presiden mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko," kata dia.

Baca Juga: Respons Usulan Penundaan Pemilu, PDIP: Berpolitik Harus Setia pada Konstitusi

Ia menjelaskan, bila tindakan itu mau disamakan dengan tindakan era Presiden Soekarnor pada 5 Juli 1959, landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk itu tidak ada. 

"Lagi pula dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer. Sementara saya melihat TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut," katanya. 

Jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. 

"Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 45." 

"Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah “kolaborator Jepang” yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda." 

"Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda," ujarnya.

Baca Juga: Sekjen Gelora Khawatir Konflik Rusia-Ukraina Dikaitkan Tunda Pemilu 2024: Semoga Hanya Suudzon Saya

Ia menyebut, dengan Maklumat Nomor X itu sistem presidensial berubah menjadi parlementer. Soekarno-Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir. 

"Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab. Perubahan dalam praktik itu, menurut Prof Dr Ismail Suny terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang." 

"Akibat situasi perang kemerdekaan, Pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan," kata dia. 

Dalam Pasal 22E UUD 1945 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan  setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.

Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi. Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.

UUD 1945 yang menurut ketentuan dua ayat dalam aturan tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. 

Baca Juga: Faldo Maldini Tepis Transaksi Politik di Balik Usulan Pemilu 2024 Ditunda: Jangan Seret Pemerintah

"Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan. Teks UUD 1945nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut."

"Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah. Seperti telah saya telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 1945 itu sah atau tidak," kata dia.

Menurut dia, sekarang zaman sudah berubah. Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Ahli-ahli tambah banyak. 

Baca Juga: Yusril: Penundaan Pemilu Akan Timbulkan Konflik Politik yang Bisa Meluas ke Mana-mana

"Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara." 

"Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada “penyelewengan” terhadap UUD 45. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," katanya.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x