Setelah menyelesaikan kuliahnya, Douwes Dekker bekerja di sebuah perkebunan kopi di Malang.
Tapi, di sini dia melihat ketidakadilan. Orang-orang Belanda saat itu memperlakukan para buruh pribumi dengan kasar.
Dia merasa tidak suka melihat kekerasan dan ketidakadilan tersebut, sehingga Douwes Dekker meninggalkan pekerjaannya dan beralih menjadi guru.
Beberapa waktu kemudian, Ernest Douwes Dekker mendirikan harian De Express, koran yang banyak memuat tulisan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Melalui koran ini, Douwes Dekker mengajak orang-orang Indonesia seperti dirinya untuk bersatu dengan rakyat Indonesia lainnya dan menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka.
Ketika masa perjuangan inilah dia menggunakan nama Danudirdja Setiabudhi.
Pada tahun 1912, Danudirdja Setiabudhi bersama dengan Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo mendirikan sebuah organisasi politik bernama Indische Partij. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Mereka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, perjuangan mereka yang dianggap menentang Belanda membuat Douwes Dekker diasingkan ke Belanda.
Baca Juga: Konvoi Kendaraan "Jadul" Zaman Kemerdekaan dan Kostum Pejuang Mewarnai Perayaan Hari Pahlawan
Sepulangnya dari pengasingan, Danudirdja Setiabudhi mendirikan Perguruan Ksatryan. Di sinilah dia menanamkan rasa kebangsaan pada anak-anak didiknya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Danudirdja Setiabudhi dibebaskan dan tinggal di Bandung sampai akhir hayatnya.
Douwes Dekker meninggal pada 28 Agustus 1950, dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. Pada 9 November 1961, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional untuk Douwes Dekker.
Sumber : Bobo
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.