JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan, pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.
Demikian hal itu disampaikan Siti Nurbaya saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11/2021).
Baca Juga: COP26: Jokowi dan 100 Lebih Pemimpin Negara Janji Hentikan Deforestasi per 2030
Siti Nurbaya mengatakan, bahwa FoLU Net Carbon Sink 2030 jangan diartikan sebagai zero deforestation. Menurutnya, hal tersebut perlu dipahami semua pihak untuk kepentingan nasional.
Melalui agenda FoLU Net Carbon Sink, kata dia, Indonesia menegaskan komitmen dalam mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan pada 2030 yang salah satu di antaranya berkaitan dengan deforestasi.
''Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan," kata Siti Nurbaya melalui keterangan resminya pada Rabu (3/11/2021).
"Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi."
Baca Juga: Makin Parah, Deforestasi di Amazon Brasil Catat Rekor Tertinggi
Menurut Siti, menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk ketetapan nilai dan tujuan (values and goals establishment), serta membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Dia berujar, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola dan pemanfaatannya dilakukan menurut kaidah-kaidah berkelanjutan, di samping tentu saja harus berkeadilan.
''Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,'' ucap Menteri Siti.
Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain.
Baca Juga: Di Hadapan Joe Biden, Jokowi Sebut Deforestasi RI Terendah dalam 20 Tahun
Sebab, kata dia, ada persoalan cara hidup dan gaya hidup yang berbeda antara masayarakat Indonesia dengan Eropa, Afrika, dan lainnya terkait misalnya soal konsep rumah huni.
''Jadi harus ada compatibility dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci,'' ucapnya.
Menteri Siti lantas memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju dikatakan sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an. Selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan.
Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission.
Baca Juga: Sikapi COP26 Glasgow, Walhi: Perdagangan Karbon Solusi Palsu Atasi Krisis Iklim
''Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil," ucap Siti.
"Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya."
Ia mencontohkan, di Kalimantan dan Sumatera, misalnya, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
''Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,'' ujar Menteri Siti.
Baca Juga: G20 Ditutup dengan Komitmen Netralitas Karbon Tanpa Target Waktu Spesifik
Ia mengatakan, dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia terus berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten.
Karena itu, dia menuturkan, tidak bisa membandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.
''Indonesia dengan target penurunan emisi 41 persen saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an juta, tapi bunyinya 50 persen," ujar Siti.
"Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945."
Baca Juga: Jelang KTT G20, PM Inggris Desak China Percepat Pengurangan Emisi Karbon
Lebih lanjut, Siti mengatakan, strategi yang dimiliki Indonesia belum tentu dimiliki negara lain. Indonesia, kata Menteri Siti, sedang terus menerus memperbaiki sumber daya alamnya dengan langkah-langkah yang terukur.
"Kita tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa kita kerjakan. Mengurangi emisi GRK (gas rumah kaca) sudah sesuai dengan mandat UUD 1945. Ini memerlukan keterlibatan semua pihak," ujarnya.
"Untuk itu saya menegaskan kembali pentingnya peran generasi muda di tengah berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Tentu saja saya mengajak kita semua untuk tidak lelah mencintai Indonesia kita."
Sementara itu, Ketua Umum PPI UK Oki Earlivan menyampaikan bahwa mereka siap berkolaborasi dan ikut berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim yang tengah gencar dilakukan Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Produsen Minyak Terbesar Dunia Menyatakan Siap Bebas Emisi Karbon Pada 2050
''Kami telah menyimak strategi dan capaian, serta mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia, dan siap bekerja sama membantu pemerintah agar target pengurangan emisi dapat tercapai,'' kata mahasiswa University of Oxford ini.
Dalam pertemuan tersebut turut hadir Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya, Dirjen Gakkum, Dirjen PKTL dan Tenaga Ahli Menteri LHK.
Sementara mahasiswa PPI yang hadir tidak hanya dari wilayah Glasgow, tapi juga mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PPI London, York, Oxford, Glasgow, Edinburgh, Sheffield, Leicester, Lancaster, Hull, Birmingham, Bristol, Bath, dan PPI United Kingdom.
Baca Juga: Arab Saudi Umumkan Komitmen Nol Emisi Karbon pada Tahun 2060
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.