JAKARTA, KOMPAS.TV – Banjir dan bencana hydrometeorologi yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia cenderung disebabkan karena ketidakmampuan daya tampung dan daya dukung sungai atau drainase.
Penjelasan itu disampaikan oleh Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, dalam acara Kompas Petang KOMPAS TV, Sabtu (30/10/2021).
Menurut Guswanto, hujan lebat biasanya dapat diikuti dengan bencana hidrometeorologi jika kondisi lingkungan tidak bagus, termasuk daya dukung dan daya tampung, seperti sungai dan drainase perkotaan tersumbat.
Sehingga, yang harus diwaspadai terlebih dahulu oleh warga atau masyarakat adalah daya tampung dan daya dukung lingkungan.
“Saat ini yang terjadi di berbagai wilayah itu karena cenderung pada banjir akibat tanggul sungai yang jebol atau terhambat oleh sampah,” jelasnya.
Baca Juga: Ini Daerah dengan Potensi Cuaca Ekstrem Mulai 30 Oktober hingga 4 November
Guswanto menegaskan, daya tampung dan daya dukung lingkungan merupakan hal yang diukur terlebih dahulu sebelum melakukan pembangunan, seperti bendungan atau sungai.
“Jadi kalau kita menetapkan misalkan sungai atau membuat bendungan, itu pasti daya tampungnya diukur dulu. Sehingga nanti apabila curah hujan yang jatuh sekian milimeter kubik, itu akan bisa tertampung,” urainya.
Ia pun mencontohkan pembangunan drainase perkotaan, misalnya DKI Jakarta, yang dapat menampung curah hujan hingga 100 milimeter per hari.
“Saat ini DKI bisa sampai 100 milimeter per hari, seperti yang disampaikan pak gubernur, dalam artian walaupun terjadi genangan, dalam enam jam sudah surut.”
Mengenai daerah yang harus waspada dan mengantisipasi potensi cuaca ekstrem serta hujan lebat, Guswanto menyebut daerah bantaran sungai sebagai area yang pertama kali harus diwaspadai.
Selanjutnya, daerah yang lanskapnya mempunyai cekungam, atau daerah perumahan yang berada di area cekungan, di mana dulunya adalah rumah air.
Untuk mengantisipasi itu semua, BMKG diebutnya sudah menginformasikan seluruh prakiraan cuaca, baik itu berbasis dampak maupun peringatan, mulai dari 7 hari, 3 hari, 1 hari, dan ada yang sampai 3 jam atau 30 menit.
“Yang 30 menit ini berupa peringatan dini. Peringatan dini selalu diupdate, seperti hari ini sudah terbit sejak jam 14 tadi.”
Baca Juga: 5 Wilayah di Jateng Diminta Waspada Curah Hujan Tinggi akibat La Nina, Potensi Banjir hingga Longsor
BMKG Juga sudah melakukan beberapa kali koordinasi dengan sejumlah stakeholder, bahkan sejak prakiraan musim hujan dirilis bulan September lalu.
Menurut Guswanto, BMKG juga telah melaksanakan FGD seri untuk mengantisipasi La Nina.
“Ibu Kepala BMKG mengundang beberapa narasumber dari kementerian terkait, seperti PUPR, Menkomarves, dsb, termasuk mengundang beberapa gubernur untuk memberikan tanggapan, Jawa Tengah maupun DKI Jakarta,” tambahnya.
Upaya lain yang telah dilakukan BMKG adalah menyelenggarakan sekolah lapang iklim, lapang cuaca, gempa, itu juga antisipasi untuk menyosialisasikan.
“Terakhir, BMKG menggerakkan seluruh UPT di daerah untuk bersinegi, bahkan dibentuk Brigade La Nina untuk mengantisipasinya.”
Dalam kesempatan itu Guswanto juga menjelaskan bahwa ada perubahan puncak musim hujan. Jika dulu pada bulan Oktober curah hujan sudah lebat, saat ini masih di kisaran 59,1 persen
“Sedangkan November 87,7 persen, Desember 96 persen, dan puncaknya di Januari-Februari, berarti kan ada sedikit pergeseran,” tegasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.