JAKARTA, KOMPAS.TV - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berikan 10 catatan rapor merah dalam masa empat tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Laporan bertajuk "Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan Di Ibukota", diberikan kepada pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Senin (18/10/2021). Ada 10 masalah yang dianggap perlu digarisbawahi oleh pihak LBH Jakarta.
"LBH Jakarta menyoroti sepuluh permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta dan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta," kata pengacara LBH Jakarta, Charlie Albajili, Senin, di Pendopo Gubernur DKI Jakarta.
Berikut ialah sepuluh catatan rapor merah Anies Baswedan oleh LBH Jakarta.
Baca Juga: Usulan Ataturk Jadi Nama Jalan di Jakarta Diprotes, Wagub DKI: Pemerintah Akan Cari Solusi
Pertama, buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sebagaimana yang ditetapkan oleh PP No. 41/1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta).
Kedua, sulitnya akses air bersih di Jakarta karena swastanisasi air.
"Permasalahan ini utamanya dapat ditemui pada pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota," kata Charlie.
Ketiga, penanganan banjir yang dianggap belum mengakar pada penyebab banjir. Keempat, penataan kampung kota yang belum partisipatif.
"Kelima, ketidakseriusan Pemprov DKI dalam memperluas akses bantuan hukum," katanya.
Keenam, sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Ketujuh, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemprov DKI terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain," jelasnya.
Baca Juga: Langgar PPKM, Holywings Tebet Didenda Rp50 Juta dan Ditutup Seminggu
Delapan, penanganan pandemi yang masih setengah hati mengingat Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.
Kesembilan, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.
"Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," ujarnya.
Terakhir, reklamasi yang masih terus berlanjut.
"Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi dimulai ketika pada 2018 Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (“Pergub DKI 58/2018”) yang menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”."
Baca Juga: Ketua DPRD DKI Tetap Dukung Interpelasi Formula E, Wagub DKI: Tidak Perlu Ada Interpelasi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.