JAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus korupsi dan suap yang melibatkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi karena proses rekruitmen di partai politik bermasalah sejak awal.
Pernyataan itu disampaikan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius kepada KompasTV, Sabtu (25/9/2021).
Lucius memaparkan alasan dirinya menyimpulkan hal itu. Menurutnya, catatan jumlah tiga pimpinan DPR dalam dua periode terakhir yang terlibat dalam kasus suap dan korupsi, mengindikasikan kerentanan posisi pimpinan DPR tersebut untuk terlibat dalam kasus suap dan korupsi.
Meskipun, jika menyimak lebih dalam, kasus-kasus korupsi dan suap yang melibatkan pimpinan DPR tertentu tidak selalu terjadi pada saat yang bersangkutan menduduki posisi pimpinan.
“Aksi korupsinya sudah dilaksanakan sebelum menduduki kursi pimpinan,” ucapnya.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin di Pusaran Korupsi
Terkait, kasus Azis Syamsuddin, lanjut Lucius, kasusnya memang terjadi pada saat ia menduduki kursi Wakil Ketua DPR.
Tetapi, kata Lucius, siapa yang bisa menjamin bahwa praktik itu sesungguhnya sudah dilakukan sejak lama sebelum ia menjabat sebagi Wakil Ketua DPR.
Pertanyaan yang paling cocok, menurutnya adalah kenapa figur yang bermasalah, seperti orang-orang yang sudah terbiasa menjalankan suap dan korupsi, justru menjadi pihak yang paling mengincar posisi sebagai pimpinan di parlemen.
“Orang-orang bermasalah mengincar posisi elite di parlemen karena ingin melindungi dirinya, memproteksi dirinya yang sudah bermasalah,” urainya.
Mereka berharap, dengan jabatannya yang tinggi, ia punya cukup kekuasaan untuk memengaruhi penegak hukum agar terhindar dari kasus hukum.
Baca Juga: Azis Syamsuddin Resmi Jadi Tersangka Korupsi, Modus yang Digunakan adalah Makelar Kasus
“Jadi, karena sudah bermasalah, seseorang seperti Azis Syamsuddin mengincar posisi tinggi agar bisa menjaga kasus-kasus yang sudah dilakukannya.”
Kebiasaan mereka menjadi makelar kasus dan proyek, membuat posisi mereka sebagai pimpinan DPR semakin memberinya peluang untuk melanjutkan kebiasaan lamanya.
“Kekuasaan sebagai pimpinan DPR dianggap cukup kuat untuk terhindar dari sentuhan aparat penegak hukum.”
Jika pun kemudian ada kasus dugaan korupsi yang terungkap, sebagai pimpinan, dia masih memiliki kanal untuk memengaruhi proses hukum, yakni dengan menggunakan strategi yang sudah melekat pada diriya, yaitu suap dan korupsi.
“Saya kira praktik pimpinan DPR terlibat korupsi dan suap dengan latar belakang yang sudah saya sebutkan di atas, menunjukkan bahwa proses rekruitmen politik di partai politik memang bermasalah,” jelasnya.
Lucius menyebut bahwa rekruitmen dilakukan dengan mengabaikan aspek integritas seseorang.
Hal paling penting dalam proses rekruitmen adalah kedekatan seseorang dengan elite parpol.
Terlebih lagi jika seseorang tersebut punya modal yang cukup untuk diberikan kepada partai maka makin mudah baginya untuk menjajagi kursi elite di dunia politik, seperti pimpinan DPR.
“Inilah yang menjelaskan kenapa pimpinan DPR yang terlibat kasus korupsi dan suap selalu mungkin terjadi ke depannya, karena rekruitmen partai politik tidak berdasarkan pertimbangan integritas tetapi lebih pada pertimbangan pragmatis,” dia mengulangi penjelasannya.
Orang-orang yang memunyai uang bisa mencapai posisi tinggi di partai poliitk, dan posisi itu bisa membawanya lebih jauh pada kursi-kursi elite seperti pimpinan DPR.
Koneksi dengan elite partai, lanjutnya, adalah pertimbangan lain. Namun, semua itu tetap menunjukkan bahwa satu-satunya alasan bagi partai politik memberikan posisi di lembaga tertentu bukan karena integritas, tetapi lebih karena pada pertimbangan pragmatis.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.