“Seperti yang dibayangkan, telur pgSIT dapat dikirim ke lokasi yang terancam oleh penyakit yang ditularkan nyamuk atau dikembangkan di fasilitas di tempat yang dapat menghasilkan telur untuk penyebaran di dekatnya,” kata Prof. Akbari.
Ia menambahkan, setelah telur pgSIT dilepaskan di alam liar, pada puncaknya, 100 hingga 200 telur pgSIT jantan steril akan muncul.
Jantan steril tersebut akhirnya kawin dengan betina, dan menghasilkan populasi sesuai dengan kebutuhan.
Menurutnya, secara empiris dapat dilihat bahwa pgSIT jantan yang dilepaskan dapat bersaing, dan menekan, bahkan menghilangkan populasi nyamuk.
Berdasarkan hasil penelitian, menurutnya, teknologi platform ini dapat digunakan di lapangan, dan disesuaikan dengan banyak vektor.
“Untuk mengendalikan populasi liar guna mengurangi penyakit dengan cara yang aman, terbatas, dan reversibel,” tulisnya dalam laporannya.
Bukan hanya dapat diterapkan pada nyamuk Aedes aegypti, para peneliti menyebut bahwa teknik ini juga bisa diterapkan pada spesies nyamuk yang lain.
Sebab, teknik ini memiliki fitur keamanan yang bisa membatasi diri menyebar di lingkungan.
Di masa depan, pgSIT dapat menyediakan teknologi yang efisien, aman, terukur, dan ramah lingkungan untuk pengendalian populasi nyamuk penyebar penyakit.
Metode sterilisasi telah digunakan oleh para petani pada serangga jantan sejak tahun 1930-an.
Kala itu mereka mensterilkan serangga jantan untuk melindungi tanaman mereka.
Pada tahun 1950-an, para petani Amerika Serikat mulai menggunakan radiasi untuk mensterilkan hama, seperti lalat New World Screwworm, yang merusak ternak.
Metode berbasis radiasi berlanjut hingga saat ini, digunakan bersamaan dengan insektisida.
Sementara, pgSIT dirancang dengan jauh lebih tepat dan terukur, karena tidak menggunakan radiasi atau bahan kimia, tetapi menggunakan CRISPR yang mengubah gen nyamuk.
Sumber : nationalgeographic
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.