JAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan, kasus pelecehan seksual ramai dibicarakan di lini masa media sosial. Ada dua kasus yang menjadi sorotan publik.
Pertama, dugaan perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lalu, kedua, kelakuan Saipul Jamil, pelaku kekerasn seksual terhadap anak, yang merayakan kebebasannya dan ditayangkan televisi.
Perayaan kebebasan Saipul Jamil pun diprotes banyak pihak. Kelakuan Saipul Jamil yang ditayangkan televisi itu dinilai sebagai pewajaran pelaku kekerasan seksual tehadapa anak.
Defenisi Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Salah satu upaya menghindari kekersan seksual terhadap anak, adalah dengan mengenali bagaimana kekersan seksual itu terjadi.
Nia Kusuma Wardhani, M.Psi., dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, memulai penjelasan soal kekerasan seksual terhadap anak dengan mengacu UU Nomr 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Nia, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak anak, agar dapat tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
"Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," kata Nia melalui keterangan yang diterima KOMPAS TV, Selasa (7/9/2021).
Lebih lanjut, Nia menuturkan, kekerasan seksual pada anak itu adalah tindakan memaksa mengancam atau memperdaya anak dalam aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batas usia, mulai dari bayi sudah rentan, sampai dengan usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua.
Baca Juga: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diubah Menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Kata Nia, orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan atau pengetahuan yang lebih dari anak, lalu mereka memanfaatkan untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual mereka, sudah masuk sebagai kekerasan seksual tehadap anak.
Adapun aktivitas seksual yang dimaksud Nia, meliputi penglihatan, meraba, sampai dengan penetrasi atau tekanan, bahkan memperlihatkan media atau benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak, pencabulan bahkan pemerkosaan.
"Itu semua merupakan tindakan kejahatan seksual pada anak," ujar Psikolog di SYAPC Yogyakarta itu.
Kenapa Anak Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual?
Menurut Nia, anak rentan menjadi korban kekerasan seksual, karena anak diposisikan sebagai sosok yang lemah, yang belum memiliki kekuatan, tidak berdaya, dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang lain serta orang dewasa yang ada di sekitarnya.
"Hal ini membuat anak itu tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahu apa yang sedang dialaminya dan kejahatan seksual yang dia alami," kata founder PPKD Indonesia Consulting itu.
Kemampuan pelaku menguasai korban, lanjut Nia, menjadi cara predator seksual tersebut beraksi. Baik dengan cara tipu-daya, bahkan iming-iming hadiah yang tidak didapatkan anak di rumah, "hal tersebut yang memperkuat atau memberikan kesempatan yang besar untuk pelaku melakukan kejahatan seksual," katanya.
Pelaku sebisa mungkin menguasai korban, dan menyebabkan kejahatan tersebut sulit untuk dihindari.
Bahkan, tambahnya, hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya adalah orang terdekat korban. Karena pelaku memiliki dominasi atas diri anak tersebut.
"Ya, bisa terjadi pada orang tuanya sendiri, ayah tirinya sendiri, pacar ibunya, paman, om, kakek, bahkan pengasuh, orang yang dipercaya untuk merawat anak tersebut, bahkan juga terjadi di sekolah. Miris sekali kondisinya seperti ini," tutur Nia.
Parahnya, lanjut Nia, beberapa orang tua ada yang kurang peduli. Pelecehan seksual rentan terjadi, karena orang tua tidak tahu aktivitas anak, tidak tahu anaknya di mana, bermain dengan siapa, dan bermainnya apa.
"Kadang orang tua kurang peduli gimana anak menghabiskan waktunya," ucapnya.
Baca Juga: Kenapa Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual Banyak yang Diam? Komnas Perempuan: Sering Tak Dipercaya
Menggilanya, kata Nia, banyak para pelaku pelecehan seksual itu tidak melakukan aksinya dengan kekerasan, tapi mereka menggunakan manipulasi.
"Anak ditipu sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu itu sebagai tipu daya atau bukan," kata dia.
Dampak yang Dialami Anak Korban Kekerasan Seksual
Kata Nia, ada tiga dampak dialami anak korban kekerasan seksual:
Pertama, dampak fisik, ada memar, luka, atau robek pada selaput dara, atau infeksi pada bagian tertentu
Kalau psikologis, anak mengalami trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan, merasa terancam, tertekan, bahkan gelisah.
Dia merasa menyalahkan diri sendiri, bahkan seiring berjalannya waktu ada rasa membenci lawan jenisnya.
"Kalau ini terus menerus, ada kecenderungan dia untuk menyukai teman sejenisnya," kata Nia.
Ada juga faktor ketidakpercayaan anak terhadap orang dewasa, karena orang dewasa dianggap tidak mampu melindunginya. Orang dewasa dianggap tidak aware dengan kondisinya.
Kondisi kekerasan seksual orang tua mungkin tahu, tapi didiamkan. Sehingga lambat laun menumbuhkan anak bahwa dia tidak percaya terhadap figure dewasa.
Bahkan, tambahnya, dampak psikologis yang terjadi itu dia bisa kehilangan semangat hidup, "atau bahkan terjadi percobaan bunuh diri," ucap Nia.
Selain itu, Nia menyebut dampak psikologis lain adalah yang berantai, yaitu keinginan untuk membalas dendam.
"Korban merasa bahwa pada saat kecil dia diperlakukan seperti itu, dan pada saat dia dewasa dia menganggap wajar dia membalas pada teman lain atau lingkungan yang lain," kata Nia.
Terakhir, adalah dampak sosial. Korban akan selalu merasa diperlakukan sinis oleh masyarakat di sekitarnya.
"Dia memiliki ketakutan jika berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, bahkan dia dipersalahkan oleh lingkungannya," ucap Nia.
Baca Juga: Pengakuan Korban Dugaan Kekerasan Seksual di SMA SPI, Dibawa Ke Rumah Terlapor, Modus Kaderisasi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.