YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas vonis hukuman bagi jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi 4 tahun.
Hal ini pun memantik reaksi keberatan dari sejumlah pihak termasuk dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Salah satu peneliti Pusat UGM Zaenur Rohman menyatakan, pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk memangkas vonis hukuman jaksa Pinangki tak berimbang banyak terkesan hanya sekedar mencari-cari alasan untuk meringankan vonis banding tersebut.
Tampak jelas saat majelis hakim mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Baca Juga: KY Janji akan Kumpulkan Informasi soal Dugaan Pelanggaran Hakim Memutus Perkara Jaksa Pinangki
Zaenur berpendapat, alasan majelis hakim untuk meringankan hukuman Pinangki karena memiliki anak balita juga tidak adil terhadap terdakwa perempuan dalam kasus-kasus lain. Menurutnya, majelis hakim mencari-cari alasan dengan pertimbangan tersebut.
"Putusan hakim ini hanya berlindung di balik alasan Pinangki seorang perempuan yang memiliki anak. Padahal alasan yang memberatkan justru jauh lebih berat," tutur dia pada awak media, Rabu (16/6/2021).
Zaenur menilai, seharusnya berdasar fakta di persidangan, lebih banyak alasan-alasan yang memberatkan hukuman untuk Pinangki.
"Putusan pengadilan tinggi ini tidak cukup mempertimbangkan alasan yang memberatkan. Karena alasan yang memberatkan sangat jelas faktanya," papar dia.
Pertama, kata Zaenur, Pinangki adalah seorang penegak hukum. Pinangki juga berprofesi sebagai jaksa dan menjabat Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Baca Juga: Vonis Pinangki Dipotong, ICW: Harusnya Seumur Hidup
Kedua, perbuatan Pinangki jelas-jelas menyusahkan upaya pemberatasan korupsi di tanah air.
"Ketiga, perbuatan yang dilakukan didakwa dengan pasal berlapis. Tidak hanya pasal penerimaan suap, tapi juga TPPU, dan permufakatan jahat," papar Zaenur.
Keempat, lanjut Zaenur, Pinangki merupakan pelaku yang terlibat secara aktif dalam perkara yang melibatkan Djoko Tjandra itu. Padahal, Pinangki tahu betul bahwa Djoko Tjandra merupakan buronan negara selama bertahun-tahun dan telah merugikan keuangan negara dalam jumlah cukup besar.
"Jadi kalau dilihat dari perbuatan pidana Pinangki, alasan-alasan pemberat itu jauh lebih berat daripada alasan yang meringankan," tandas dia.
Karena itu, dia pun mendorong agar jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan permohonan kasasi di tingkat Mahkamah Agung.
Baca Juga: Ini Harta Kekayaan Muhammad Yusuf, Ketua Majelis Hakim yang Memangkas Hukuman Jaksa Pinangki
Menurut Zaenur, hal ini tidak masalah meskipun jaksa penuntut umum menuntut Pinangki hanya empat tahun penjara di pengadilan tingkat pertama.
"Yang dijadikan dasar adalah putusan pengadilan tinggi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Bukan terhadap tuntutan. Jaksa harus banding. Kalau jaksa ogah banding, menolak banding, itu menjadi pertanyaan masyarakat," tambah Zaenur.
Sebagaimana diberitakan KompasTV, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan penjara.
Salah satu pertimbangan majelis hakim meringankan hukuman, yaitu karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
Baca Juga: MAKI: Pengurangan Hukuman Pinangki Merusak Keadilan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.