JAKARTA, KOMPAS.TV - Sastrawan Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia hari ini 15 tahun lalu, tepatnya pada 30 April 2006.
Para awak media kala itu sempat menerima kabar Pram telah meninggal pada Sabtu (29/4/2006). Namun, Pram belum meninggal dan masih berjuang melawan penyakit komplikasi.
Zen Rahmat Sugito dalam esai “Menjelang Berakhirnya Pasar Malam” mengisahkan, Pram terbaring di ranjang rumahanya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.
Baca Juga: Mengenang Gus Dur, Melalui Buku "Gus Dur Jatuh Dari Kursi Presiden dan Keberpihakan Media Massa"
Pram bertahan dengan bantuan selang infus dan oksigen di pergelangan tangan serta hidungnya.
Sepanjang malam Pram bertahan. Tapi ia akhirnya harus menyerah. Sekitar pukul 09.00 WIB hari Minggu (30/4/2006) Pram meninggal dunia.
Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, pemakaman tempat penyair ternama Chairil Anwar. Para pelayat menyanyikan Lagu Internationale dan Darah Juang.
Lagu Internationale adalah sajak buatan Eugene Pottier, seorang buruh anggota Komune Paris (1871). Sementara, lagu Darah Juang adalah lagu perjuangan pelajar Indonesia menjelang jatuhnya pemerintahan Soeharto (1997-1998).
Dari Blora ke Buru
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925. Ia lahir sebagai sulung dari ayah seorang Kepala Sekolah Rendah (Sekolah Dasar) Institut Boedi Oetomo di Blora dan ibu seorang penjual nasi.
Mengutip laman kemdikbud.go.id, Pram sempat bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun hingga 1941. Pada 1942 ia merantau ke Jakarta dan menjadi juru ketik di Kantor Berita Jepang Domei.
Baca Juga: Daftar Buku Terbaik Nawal El Sadaawi, Aktivis Hak Perempuan Asal Mesir yang Baru Meninggal Dunia
Saat itulah ia mulai berkenalan dengan arsiparis HB Jassin dan sastrawan Idrus. Terpengaruh keduanya, Pram ikut menulis. Pram bahkan menulis secara lebih produktif.
Pada 1945 Pram memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan menjelajahi Pulau Jawa. Saat masa-masa revolusi kemerdekaan ia juga bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat menjadi seorang letnan.
Marinir Belanda menangkapnya pada 1947 karena Pram menyimpan dokumen gerakan bawah tanah. Ia mendekam di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di Bukit Duri, Jakarta sampai tahun 1949.
Pram kemudian bergabung dengan Lembaga Kesenian Jakarta (Lekra) yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1958. Bersama Lekra, Pram mendorong ajaran seni realisme sosialis. Varian realisme inilah yang banyak tercermin dalam karya-karyanya.
Pada 1965 setelah peristiwa G30S, Pram ditangkap pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai anggota PKI.
Ia mengalami penyiksaan selama penahanan. Pram sempat merasakan penjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, hingga pengasingan di Pulau Buru. TNI AD juga membakar karya-karya Pram.
Selama pengasingan di Pulau Buru, Pram tak kenal lelah menulis dan melawan. Di pengasingan ini ia bahkan menciptakan mahakarya Tetralogi Buru.
Baca Juga: Buku-Buku "Gagal Terbit" Ini Dijadikan Kuil Parthenon
Namun, pemerintahan Soeharto melarang peredaran buku-bukunya di dalam negeri. Karya-karya Pram berhasil diselundupkan ke luar negeri dan diterjemahkan. Hal ini membuat nama Pram terkenal di mata internasional.
Bersamaan dengan kejatuhan Soeharto pada 1998, Pram bebas dari pengasingan. Akan tetapi, karya-karya Pram masih jadi bahan bacaan terlarang.
Hingga akhir hayatnya, 29 April 2006, pelarangan atas buku-buku Pram belum juga secara resmi dicabut Pemerintah Indonesia. Meski begitu, karya-karya Pram kini mudah didapatkan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.