Baca Juga: Daftar Buku Terbaik Nawal El Sadaawi, Aktivis Hak Perempuan Asal Mesir yang Baru Meninggal Dunia
Saat itulah ia mulai berkenalan dengan arsiparis HB Jassin dan sastrawan Idrus. Terpengaruh keduanya, Pram ikut menulis. Pram bahkan menulis secara lebih produktif.
Pada 1945 Pram memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan menjelajahi Pulau Jawa. Saat masa-masa revolusi kemerdekaan ia juga bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat menjadi seorang letnan.
Marinir Belanda menangkapnya pada 1947 karena Pram menyimpan dokumen gerakan bawah tanah. Ia mendekam di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di Bukit Duri, Jakarta sampai tahun 1949.
Pram kemudian bergabung dengan Lembaga Kesenian Jakarta (Lekra) yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1958. Bersama Lekra, Pram mendorong ajaran seni realisme sosialis. Varian realisme inilah yang banyak tercermin dalam karya-karyanya.
Pada 1965 setelah peristiwa G30S, Pram ditangkap pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai anggota PKI.
Ia mengalami penyiksaan selama penahanan. Pram sempat merasakan penjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, hingga pengasingan di Pulau Buru. TNI AD juga membakar karya-karya Pram.
Selama pengasingan di Pulau Buru, Pram tak kenal lelah menulis dan melawan. Di pengasingan ini ia bahkan menciptakan mahakarya Tetralogi Buru.
Baca Juga: Buku-Buku "Gagal Terbit" Ini Dijadikan Kuil Parthenon
Namun, pemerintahan Soeharto melarang peredaran buku-bukunya di dalam negeri. Karya-karya Pram berhasil diselundupkan ke luar negeri dan diterjemahkan. Hal ini membuat nama Pram terkenal di mata internasional.
Bersamaan dengan kejatuhan Soeharto pada 1998, Pram bebas dari pengasingan. Akan tetapi, karya-karya Pram masih jadi bahan bacaan terlarang.
Hingga akhir hayatnya, 29 April 2006, pelarangan atas buku-buku Pram belum juga secara resmi dicabut Pemerintah Indonesia. Meski begitu, karya-karya Pram kini mudah didapatkan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.