Misalnya, pasien yang berobat ke rumah sakit tipe A akan mendapatkan pelayanan maksimal, sementara pasien yang berobat ke rumah sakit tipe D tidak akan mendapatkan pelayanan yang sama.
"Sering permasalahan itu muncul dan dari diri pasien yang melakukan advokasi atau melaporkan situasi yang dihadapi pasien saat mereka berobat," urainya.
Terkait melonjaknya pasien gagal ginjal kronik, Petrus menilai sudah saatnya Indonesia memiliki sebuah lembaga donor organ.
Sebagaimana diketahui seseorang pasien penyakit ginjal kronik bisa hidup lebih baik dan normal setelah mendapatkan transplantasi ginjal.
Praktiknya sampai hari ini di Indonesia, pemerintah selalu melempar proses transplantasi tersebut kepada pasien. Pasien harus bersusah payah mencari donor untuk transplantasi ginjal ke anggota keluarganya.
“Jika tidak mendapatkannya, pasien tersebut harus menjalani proses cuci darah yang entah kapan selesainya. Bahkan jika ada orang baik di Indonesia ingin mendonorkan organ tubuhnya secara sukarela, mereka tidak tahu harus kemana,” ungkap dia.
Baca Juga: Sehat di Tengah Pandemi: Tanda-tanda Ginjal Bermasalah
Agar tidak terjadi penyelewengan, lanjut Petrus, pemerintah harus membuat payung hukum yang jelas bagi lembaga donor organ tersebut. Hal itu demi menghindari praktik jual beli organ yang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru pada saat proses perjalanannya.
"UU Kesehatan hanya beberapa pasal yang menyangkut itu dan tidak menyangkut tentang bagaimana masyarakat yang terkena gagal ginjal bisa dengan mudah mengurus transplantasi ginjal yang dilayani oleh negara," kata Petrus.
Terpisah, Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menilai, WKD 2021 dijadikan momentum untuk seluruh pihak baik itu pemerintah, organisasi profesi dokter, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara kebijakan, dan seluruh pihak yang peduli terhadap kesehatan, utamanya penyakit ginjal.
Para pihaknya dapat bekerja bersama-sama demi satu tujuan yakni meningkatkan pelayanan kesehatan yang baik untuk pasien serta mengamkampanyekan pola hidup yang sehat.
Baca Juga: Kenaikan BPJS Kesehatan Digugat Lagi oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
Selama ini, ungkap Tony, KPCDI masih menemukan tingginya ego sektoral dan sikap mental antar masing-masing pihak yang bekerja secara individual.
Jika sikap tersebut dipertahankan, maka hal itu akan menjadi hambatan besar dalam mencapai efektifitas dan efisiensi kebijakan.
"Sebuah hambatan kebijakan dalam mewujudkan aturan bagi pasien yang sesuai dengan isu yang berkembang saat ini. Jadi rekomendasi kebijakannya itu tidak hanya bersifat normatif semata," ujarnya.
Di sisi lain, Tony melihat sampai hari ini pemerintah masih juga belum mau merangkul pasien untuk terlibat aktif di dalam proses pembuatan dan pembahasan kebijakan.
Padahal, bagi Tony pasien adalah orang pertama yang merasakan efek dari kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat.
Baca Juga: Prabowo Sebut Selang Cuci Darah di RSCM Untuk 40 Orang
Dari perspektif pasien, sudah seharusnya pemerintah tidak lagi menomor duakan pasien. Pasien harus duduk di sebelah pemerintah untuk sama-sama menemukan jawaban terhadap isu-isu yang berkembang di lapangan.
“Artinya, pemerintah harus segera aktif merangkul organisasi pasien agar pasien merasa terlibat untuk tujuan mulia yaitu memberi masukkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” tandas dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.