JAKARTA, KOMPAS.TV - Aktivitas media sosial (medsos) mendapat perhatian serius aparat kepolisian. Hal tersebut setelah beroperasinya virtual police atau polisi virtual yang sudah diluncurkan Polri.
Lantas bagaimana cara kerja polisi internet tersebut?
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono menerangkan, polisi internet ini bertugas memantau seluruh aktivitas di media sosial.
Petugas nantinya akan melaporkan ke atasan jika menemukan unggahan konten yang berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca Juga: Ingat! Polisi Internet Sudah Aktif Beroperasi, 3 Akun Medsos Langsung Disikat
Selanjutnya, unggahan konten yang diserahkan oleh polisi virtual ini akan dimintakan pendapat ke para ahli, seperti ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE.
Kemudian, jika ada potensi tindak pidana, unggahan konten itu akan diserahkan ke Direktur Tindak Pidana Siber atau pejabat yang ditunjuk.
"Setelah dia memberikan pengesahan, kemudian baru kita japri ke akun tersebut. Kita kirim itu. Jadi resmi kirimnya. Jadi tahu ada dari polisi yang kirim," jelas Argo dikutip dari Kompas.com.
Unggahan diperbaiki atau dihapus
Argo berharap dengan pemberitahuan yang disampaikan Polri itu, pengguna media sosial tersebut melakukan koreksi atau menghapus unggahan kontennya yang berpotensi melanggar hukum.
Dengan begitu, pihak-pihak yang dimaksud dalam unggahan itu tidak merasa terhina dan melaporkannya ke polisi.
"Jadi ini edukasi yang kita berikan pada masyarakat lewat patroli siber," tutur perwira bintang dua itu.
Baca Juga: Kapolri: Polisi Virtual Akan Segera Patroli di Media Sosial
Bagaimana jika konten melanggar UU ITE tidak dihapus juga?
Jika konten tak juga dihapus, polisi akan kembali mengirimkan pemberitahuan.
Andai setelah pemberitahuan kedua tidak ada perubahan dan pihak yang merasa dirugikan melapor, Argo mengatakan Polri akan mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor.
"Misal yang dituju atau orang itu yang dirugikan bikin laporan, ya kita lakukan mediasi juga. Kalau tidak bisa, kita proses. Semuanya ada tahapan," jelas Argo.
Utamakan pendekatan
Argo menegaskan, sesuai surat edaran, Kapolri menginstruksikan penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum.
Konsep pendekatan restorative justice ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Kapolri meminta anggota Polri memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU ITE.
"Makanya di tugas pokok Polri, kita melakukan perlindungan, pengayoman, pelayanan, dan penegakan hukum terakhir. Penegakan hukum di terakhir," katanya.
Tujuan Pembentukan Polisi Virtual
Argo menambahkan, pendirian polisi internet atau polisi virtual adalah dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021, virtual police bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, dan mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
"Jadi ini memberikan suatu edukasi kepada masyarakat seandainya masyarakat itu memberikan suatu opini sifatnya pelanggaran pidana. Dari pihak kepolisian memberikan edukasi dulu, memberitahukan. Misalnya, bapak atau ibu, apa yang ditulis itu melanggar pidana, tolong dihapus," terang Argo.
Baca Juga: Setuju UU ITE Direvisi, Wakil Ketua DPR: Banyak yang Tidak Bersalah Justru Dilaporkan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.