Bagaimana jika konten melanggar UU ITE tidak dihapus juga?
Jika konten tak juga dihapus, polisi akan kembali mengirimkan pemberitahuan.
Andai setelah pemberitahuan kedua tidak ada perubahan dan pihak yang merasa dirugikan melapor, Argo mengatakan Polri akan mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor.
"Misal yang dituju atau orang itu yang dirugikan bikin laporan, ya kita lakukan mediasi juga. Kalau tidak bisa, kita proses. Semuanya ada tahapan," jelas Argo.
Utamakan pendekatan
Argo menegaskan, sesuai surat edaran, Kapolri menginstruksikan penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum.
Konsep pendekatan restorative justice ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Kapolri meminta anggota Polri memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU ITE.
"Makanya di tugas pokok Polri, kita melakukan perlindungan, pengayoman, pelayanan, dan penegakan hukum terakhir. Penegakan hukum di terakhir," katanya.
Tujuan Pembentukan Polisi Virtual
Argo menambahkan, pendirian polisi internet atau polisi virtual adalah dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021, virtual police bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, dan mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
"Jadi ini memberikan suatu edukasi kepada masyarakat seandainya masyarakat itu memberikan suatu opini sifatnya pelanggaran pidana. Dari pihak kepolisian memberikan edukasi dulu, memberitahukan. Misalnya, bapak atau ibu, apa yang ditulis itu melanggar pidana, tolong dihapus," terang Argo.
Baca Juga: Setuju UU ITE Direvisi, Wakil Ketua DPR: Banyak yang Tidak Bersalah Justru Dilaporkan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.