Namun saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi adanya disinformasi mengenai substansi dari UU ini, dan hoaks di media sosial.
Saya ambil contoh, ada informasi yang menyebut ada penghapusan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kota/kabupaten (UMK), upah minimum sektoral provinsi (UMSP), hal ini tidak benar. Karena faktanya, UMR tetap ada.
Ada juga yang menyebutkan upah minimum dihitung per jam. Ini juga tidak benar. Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.
Kemudian ada kabarnya yang menyebutkan bahwa semua cuti, cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan, dihapuskan dan tidak ada kompensasinya. Saya tegaskan, ini tidak benar. Hak cuti tetap ada dan dijamin.
Kemudian apakah perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak? Ini juga tidak benar. Yang benar, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.
Kemudian juga pertanyaan, benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar, jaminan sosial tetap ada.
Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah dihapusnya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Itu juga tidak benar. Amdal tetap ada. Bagi industri besar tentu di-Amdal secara ketat. Tetapi untuk UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.
Ada juga berita mengenai UU Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan. Ini juga tidak benar. Karena yang diatur adalah pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK). Sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja ini. Apalagi perizinan untuk di Pondok Pesantren. Itu tidak diatur sama sekali di UU Cipta Kerja ini. Dan aturannya yang selama ini ada, tetap berlaku.
Kemudian diberitakan keberadaan bank tanah. Bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan sosial, pemerataan ekonomi dan konsolidasi lahan, serta reformasi agraria.
Ini untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan. Dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah.
Baca Juga: PKS Desak Presiden Jokowi Cabut UU Cipta Kerja
Saya tegaskan juga bahwa UU Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, tidak, tidak ada. Perizinan berusaha pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pemerintah pusat.
Ini agar tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah dan penetapan NSPK ini nanti akan diatur di dalam peraturan pemerintah (PP).
Selain itu kewenangan untuk perizinan non-perizinan berusaha tetap ada di Pemda. Sehingga tidak ada perubahan.
Bahkan kita melakukan perubahan, penyederhanaan, melakukan standardisasi jenis dan prosedur berusaha di daerah, dan perizinan berusaha di daerah diberikan batas waktu. Ini yang penting di sini.
Jadi ada service level of agreement. Permohonan perizinan dianggap disetujui bila batas waktu telah terlewati.
Saya perlu tegaskan pula, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah (PP), dan peraturan presiden (Perpres). Jadi setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan.
Kita, pemerintah, membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat, dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan-masukan dari daerah-daerah.
Pemerintah berkeyakinan melalui Undang-Undang Cipta Kerja, jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya, dan juga penghidupan bagi keluarga mereka.
Jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui mahkamah konstitusi (MK). Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu.
Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.