KOMPAS.TV - Pemerintah dan DPR telah menyepakati Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
Sebelumnya saat rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan pemerintah, sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui, sedangkan dua partai menolak.
Sebanyak tujuh fraksi yang setuju RUU Cipta Kerja disahkan, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak RUU tersebut.
Pembahasan RUU Cipta Kerja terbilang singkat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Terlebih lagi, RUU yang masuk omnibus law ini tetap dibahas meskipun di tengah pandemi virus corona.
Baca Juga: Jokowi Klaim Omnibus Law akan Buat Indonesia Bebas Korupsi
Apa Itu Omnibus Law?
Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional.
Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu.
Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi.
Yang paling sering jadi polemik, yakni ombinibus law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja.
Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Artinya, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat.
Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU cipta lapangan kerja, UU perpajakan, dan pemberdayaan UMKM.
Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik.
Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja. Sejumlah serikat buruh bahkan akan menggelar aksi mogok kerja nasional pada 6 - 8 Oktober 2020 mendatang.
Baca Juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Gelar Mogok Kerja Nasional 6-8 Oktober 2020
Proses Cepat 'Kejar Tayang'
Pemerintah dan DPR juga dianggap kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat investor asing menanamkan modal di Tanah Air sehingga bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Dalam prosesnya, tak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR. Namun, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait.
Sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu yang diselesaikan melalui omnibus law.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, pemerintah merencanakan penghapusan skema pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana terdapat penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Baca Juga: Protes Tolak Omnibus Law, Jutaan Buruh akan Mogok Nasional 3 Hari
Fakta Omnibus Law
Berikut fakta-fakta omnibus law sebagaimana dikutip dari Kompas.com:
1. Jam lembur buruh lebih lama
Terdapat pengubahan beberapa ketentuan mengenai ketenagakerjaan untuk meningkatkan investasi dalam negeri, salah satunya jam lembur yang jauh lebih lama.
Pernyataan ini tertuang dalam omnibus law Bab IV soal Ketenagakerjaan pasal 78.
Dalam pasal tersebut disebutkan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Sementara pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 78 Nomor 1 poin b menyebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja Siap Disahkan di Paripurna, Fraksi PKS dan Demokrat Menolak!
2. Cuti panjang karyawan
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 79, pemerintah menjelaskan secara detail soal cuti panjang alias istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
Cuti panjang yang diatur sekitar dua bulan pada tahun ketujuh hingga tahun ke delapan masing-masing satu bulan tiap tahunnya.
UU tersebut mengatur secara jelas peraturan soal istirahat panjang yang dibuat dalam beberapa poin khusus.
Sementara pada omnibus law Cipta Kerja, peraturan cuti tahunan tak lagi diatur secara khusus oleh pemerintah.
Kendati begitu, perusahaan dapat memberikan cuti panjang kepada karyawannya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pemerintah hanya mengatur waktu istirahat antara jam kerja setelah kerja empat jam berturut-turut dan istirahat mingguan sekitar satu sampai dua hari.
Selain itu, diatur cuti tahunan yang harus diberikan perusahaan minimal 12 hari.
Baca Juga: Omnibus Law Bikin Karyawan Tak Bisa Ajukan Cuti Panjang
3. Pekerja lebih rentan di-PHK
Pemerintah melonggarkan aturan bagi pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja/buruh.
Artinya, Omnibus law bisa saja membuat pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang mengingat prinsip RUU Cipta Kerja easy firing dan easy hiring dengan dalih memudahkan masuknya investasi.
Bahkan, PHK sewenang-wenang bisa dilakukan akibat kecelakaan kerja yang dialami buruh.
Sementara pada aturan sebelumnya, pelaksanaan PHK sebisa mungkin dihindari terlebih dahulu.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga menyepakati pengurangan pesangon PHK melalui klaster ketenagakerjaan di omnibus law RUU Cipta Kerja.
Diberitakan Kompas.com, Sabtu (3/10/2020), pemerintah mengusulkan penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah ditambah 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.
Padahal, di dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, pesangon PHK diatur maksimal hingga 32 kali upah. JKP sepenuhnya dikelola oleh pemerintah, yang sekaligus memberikan manfaat berupa upscalling dan upgrading bagi pekerja yang di-PHK.
Besaran pesangon PHK pekerja di Indonesia dinilai terbilang besar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Vietnam dan Malaysia. Hal ini dinilai menyebabkan investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
Baca Juga: Mahfud MD: Bagi yang Tidak Setuju dengan RUU Cipta Kerja Bisa ke Mahkamah Konstitusi
4. Yang tidak dihapus
Kementerian Ketenagakerjaan menjelaskan tidak akan ada penghapusan pesangon dalam omnibus law, tapi diatur mengenai pengemplementasiannya.
Pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) tetap akan mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja.
Upah minimum juga tidak akan dihapuskan. Upah per jam yang diwacanakan pemerintah merupakan upah pekerja di sektor-sektor tertentu.
Selain itu, omnibus law cipta lapangan kerja tidak akan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Jika pengusaha melanggar hak-hak pekerja, tetap diproses mulai dari sanksi administrasi hingga sanksi pidana.
Baca Juga: Buruh Demo Tuntut DPR Hentikan Pembahasan RUU Omnibus Law!
5. UMKM
Pemerintah mengklaim bahwa RUU akan mendorong adanya efisiensi maupun debirokratisasi karena memberikan kemudahan dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM dan koperasi.
Sementara itu, RUU Omnibus Law merupakan kekuatan pembuka pagar investasi sebesar-besarnya di Indonesia.
Akan terdapat kemudahan dalam investasi, ekspor, pendirian usaha, pembiayaan, dan lain sebagainya.
Disebutkan lebih lanjut, pemerintah menginginkan UMKM naik kelas, di mana UMKM berusaha semakin luas, ikut pengadaan di pemerintah, ikut pengerjaan pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, dituliskan bahwa mau tidak mau, daya saing produk UMKM harus standar global.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja Akan Dibahas di Rapat Paripurna
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.