2. Cuti panjang karyawan
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 79, pemerintah menjelaskan secara detail soal cuti panjang alias istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
Cuti panjang yang diatur sekitar dua bulan pada tahun ketujuh hingga tahun ke delapan masing-masing satu bulan tiap tahunnya.
UU tersebut mengatur secara jelas peraturan soal istirahat panjang yang dibuat dalam beberapa poin khusus.
Sementara pada omnibus law Cipta Kerja, peraturan cuti tahunan tak lagi diatur secara khusus oleh pemerintah.
Kendati begitu, perusahaan dapat memberikan cuti panjang kepada karyawannya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pemerintah hanya mengatur waktu istirahat antara jam kerja setelah kerja empat jam berturut-turut dan istirahat mingguan sekitar satu sampai dua hari.
Selain itu, diatur cuti tahunan yang harus diberikan perusahaan minimal 12 hari.
Baca Juga: Omnibus Law Bikin Karyawan Tak Bisa Ajukan Cuti Panjang
3. Pekerja lebih rentan di-PHK
Pemerintah melonggarkan aturan bagi pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja/buruh.
Artinya, Omnibus law bisa saja membuat pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang mengingat prinsip RUU Cipta Kerja easy firing dan easy hiring dengan dalih memudahkan masuknya investasi.
Bahkan, PHK sewenang-wenang bisa dilakukan akibat kecelakaan kerja yang dialami buruh.
Sementara pada aturan sebelumnya, pelaksanaan PHK sebisa mungkin dihindari terlebih dahulu.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga menyepakati pengurangan pesangon PHK melalui klaster ketenagakerjaan di omnibus law RUU Cipta Kerja.
Diberitakan Kompas.com, Sabtu (3/10/2020), pemerintah mengusulkan penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah ditambah 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.
Padahal, di dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, pesangon PHK diatur maksimal hingga 32 kali upah. JKP sepenuhnya dikelola oleh pemerintah, yang sekaligus memberikan manfaat berupa upscalling dan upgrading bagi pekerja yang di-PHK.
Besaran pesangon PHK pekerja di Indonesia dinilai terbilang besar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Vietnam dan Malaysia. Hal ini dinilai menyebabkan investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
Baca Juga: Mahfud MD: Bagi yang Tidak Setuju dengan RUU Cipta Kerja Bisa ke Mahkamah Konstitusi
4. Yang tidak dihapus
Kementerian Ketenagakerjaan menjelaskan tidak akan ada penghapusan pesangon dalam omnibus law, tapi diatur mengenai pengemplementasiannya.
Pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) tetap akan mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja.
Upah minimum juga tidak akan dihapuskan. Upah per jam yang diwacanakan pemerintah merupakan upah pekerja di sektor-sektor tertentu.
Selain itu, omnibus law cipta lapangan kerja tidak akan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Jika pengusaha melanggar hak-hak pekerja, tetap diproses mulai dari sanksi administrasi hingga sanksi pidana.
Baca Juga: Buruh Demo Tuntut DPR Hentikan Pembahasan RUU Omnibus Law!
5. UMKM
Pemerintah mengklaim bahwa RUU akan mendorong adanya efisiensi maupun debirokratisasi karena memberikan kemudahan dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM dan koperasi.
Sementara itu, RUU Omnibus Law merupakan kekuatan pembuka pagar investasi sebesar-besarnya di Indonesia.
Akan terdapat kemudahan dalam investasi, ekspor, pendirian usaha, pembiayaan, dan lain sebagainya.
Disebutkan lebih lanjut, pemerintah menginginkan UMKM naik kelas, di mana UMKM berusaha semakin luas, ikut pengadaan di pemerintah, ikut pengerjaan pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, dituliskan bahwa mau tidak mau, daya saing produk UMKM harus standar global.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja Akan Dibahas di Rapat Paripurna
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.