Begitu juga dengan obat lopinavir/ritonavir. Obat ini juga tidak ada manfaatnya untuk pasien Covid-19.
Baca Juga: Indonesia Punya Obat Covid-19 Sendiri Buatan TNI AD, BIN & Unair
Kemudian Ahmad juga menyoroti hasil penelitian Unair yang juga tidak lazim. Menurutnya Unair tidak lazim dalam penyampaian data.
Peneliti, menurut Ahmad, hanya menuliskan simbol dalam kelompok perlakuan sebagai grup SoC, A, B, C, D, dan E, tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa saja yang termasuk dalam kelompok tersebut, berapa usianya, jenis kelaminnya apa, bagaimana kondisi kesehatannya, riwayat penyakit bawaan, dan sebagainya.
Tim peneliti juga hanya menuliskan jumlah subyek di masing-masing kelompok. Padahal ketika suatu data sudah ditayangkan untuk umum seperti ini, tidak boleh hanya ditulis A, B, C, D, E, dan sebagainya.
Menurut Ahmad, responden yang dimasukkan ke dalam suatu kelompok harus jelas siapa saja dan komposisinya sama. Jika data yang dipaparkan hanya menunjukkan jumlah, sulit untuk mengetahui siapa saja pasien di dalamnya.
"Nah, kita enggak tahu proporsi di masing-masing kelompok sama atau enggak. Karena enggak fair kalau misalnya suatu kelompok berusia tua semua. Kalau hasilnya jelek, terang saja karena di (kelompok) situ banyak orang-orang tua," ungkapnya.
Baca Juga: Perlukah TNI & Polri Dilibatkan Dalam Inpres Covid-19? Ini Kata Menko PMK - ROSI
Selain umur, riwayat komorbit atau penyakit bawaan juga dapat memengaruhi hasil. Namun, di paparan tersebut tidak dijelaskan juga riwayat komorbitnya.
"Jadi saya bisa katakan, ini tidak lazim atau ada hal yang belum ditampilkan semuanya," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Ahmad dan peneliti lain mendorong agar demografi penelitian ini disampaikan secara terbuka.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.