JAKARTA, KOMPAS.TV - DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia pada hari ini, Kamis (10/8/2023), berdasarkan data IQAir.
Indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 159 per pukul 06.46 WIB. Artinya, udara di Jakarta dikategorikan sebagai "tidak sehat".
Beijing, ibu kota China, menduduki peringkat pertama dengan indeks 161. Sedangkan posisi ketiga ditempati oleh Baghdad, Irak dengan indeks 158.
Salah satu faktor yang membuat kualitas udara Jakarta buruk adalah konsentrasi polutan, khususnya PM 2.5. Partikel ini memiliki ukuran sangat kecil, kurang dari 2,5 mikrometer, namun efeknya bagi kesehatan sangat besar.
Pada hari yang sama, konsentrasi PM 2.5 di Jakarta mencapai 71,4 mikrogram/meter kubik. Jumlah ini 14,3 kali lipat dari nilai panduan yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti batuk, nyeri tenggorokan, hidung berair, dan sesak napas.
Gejala tersebut bisa memburuk hingga membuat seseorang mengalami sakit kepala, lemas, dan mual.
Baca Juga: Pagi Ini, Kualitas Udara Jakarta di Peringkat Dua Terburuk Dunia, Disebut Masuk Kategori Tidak Sehat
Hal itu terjadi karena polutan yang masuk ke dalam tubuh mengikat hemoglobin, sehingga aliran oksigen dalam darah menjadi berkurang.
Berikut penyakit-penyakit akibat kualitas udara yang buruk yang patut diwaspadai.
Paparan polutan yang tinggi merupakan sumber penyakit akibat polusi lainnya, seperti asma. Partikel kecil seperti debu atau asap dapat tersangkut di paru-paru.
Keduanya bisa menyebabkan kerusakan pada paru-paru, sehingga menyebabkan seseorang mengalami serangan asma.
Salah satu penyakit yang diakibatkan buruknya kualitas udara adalah bronkitis kronis. Ketika seseorang rutin menghirup udara penuh polutan, bronkitis kronis mungkin akan sulit dihindari.
Bronkitis kronis merupakan kondisi di mana lapisan saluran bronkial, yang membawa udara ke paru-paru, mulai meradang. Seseorang dengan bronkitis kronis mungkin akan mengalami sesak napas, batuk dengan dahak atau lendir yang kental.
Dahak yang dikeluarkan mungkin akan memiliki warna putih, kuning, atau bahkan hijau.
Paparan jangka panjang terhadap polutan udara seperti gas, partikel, atau asap merupakan penyebab terjadinya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penelitian telah menunjukkan bahwa PPOK lebih sering terjadi pada daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi.
Seseorang yang menderita PPOK mungkin akan kesulitan untuk bernapas dalam kondisi udara tercemar. Dalam kasus yang serius, penyakit akibat polusi udara ini bisa menyebabkan perawatan intensif di rumah sakit atau bahkan berujung kematian.
Gangguan kesehatan mental juga menjadi salah satu penyakit yang dipicu kualitas udara yang buruk. Sebuah penelitian mengamati lebih dari 150 juta catatan medis di Amerika Serikat (AS) dan Denmark.
Hasilnya, orang-orang yang tinggal pada daerah dengan kualitas udara yang buruk di AS, mengalami peningkatan kasus bipolar sebanyak 27 persen dan kasus depresi berat sebanyak 6 persen.
Baca Juga: Inovasi Mahasiswa UMM, Ciptakan Alat Pendeteksi Kualitas Udara
Penyakit autoimun adalah suatu kondisi di mana sistem kekebalan yang bertugas melindungi tubuh dari serangan penyakit, justru berbalik menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Penyakit autoimun bisa merusak jaringan, dan menyebabkan terjadinya peradangan di sekitar jantung dan paru-paru.
Partikel dalam polusi udara dapat menyebabkan kanker paru-paru. Sekitar 6 persen kematian di seluruh dunia yang terkait dengan penyakit akibat polusi udara disebabkan oleh kanker paru-paru.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.