Saya masih ingat, dulu di rumah orang tua ada lukisan yang menggambarkan Yudas Iskariot memimpin tentara Romawi dan para tetua agama Yahudi, menangkap Yesus di Taman Gethsemane. Lukisan itu karya ayah. Saya sudah lupa, kapan lukisan itu dibuat. Dan, di mana lukisan itu sekarang? Saya juga tidak tahu.
Taman Gethsemane di Bukit Zaitun. Uang perak 30 kepeng. Gantung diri. Ciuman. Semua itu mengingatkan kisah pengkhianatan Yudas Iskariot, salah satu dari 12 murid Yesus, yang diceritakan ditunjuk sebagai bendahara. Tapi, dia bendahara yang tidak jujur; dan menjual gurunya demi 30 kepeng perak.
Setelah ditangkap di Taman Getsemani, Yesus dibawa ke pengadilan. Kemudian, Dia disiksa dan dihukum mati dengan disalibkan. Kata Matius (Mat. 27), Yudas tidak merasa senang ketika Melihat Yesus ditangkap dan dihukum mati.
Mungkin Yudas tidak menduga bahwa pengkhianatannya berujung pada kematian Yesus di kayu salib. Maka ia memilih mengembalikan uang perak 30 kepeng kepada para pemimpin agama yang telah membelinya dan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Apa itu bentuk penyesalannya?
Kalaupun menyesal, ia tetap seorang pengkhianat. Begitu kata orang. Nama Yudas sepertinya sinonim dengan pengkhianat. Begitu anggapan orang. Itu keyakinan banyak orang. Tetapi, apakah benar begitu? Ah, itu biar para teolog atau orang cerdik pandai yang menjawabnya.
Nama belakang Yudas yakni “Iskariot” berasal dari kata Latin, sicarius yang berarti pembunuh; sica berarti pisau belati. Ada lagi yang mengartikan, Iskariot adalah anggota kelompok Sicarii. Yakni bagian kelompok gerakan radikal Zelot.
Zelot adalah semacam kelompok pembunuh politik. Ke mana-mana mereka membawa sica, pisau belati. Dengan belati itu mereka membunuh lawan-lawan politiknya, baik orang Romawi maupun Yahudi yang memusuhi mereka.
***
Pengkhianat yang lebih dulu kondang sebelum Yudas Iskariot adalah Brutus. Dia ini pemimpin kelompok pembunuh Gaius Julius Caesar, tahun 44 SM.
Cerita Brutus dan kawan-kawannya adalah salah satu kisah klasik pertama tentang pengkhianatan; kedua, tentang kejelian Brutus dan kawan-kawannya memanfaatkan suasana untuk kepentingannya sendiri.
Cassius dan Casca-lah yang melemparkan ide untuk mengkhianati Caesar. Dua senator ini menggalang kekuatan politik untuk menjungkalkan Caesar dari kursinya. Keduanya lalu menghasut Brutus untuk menjadi pemimpin kelompok konspirator yang disebut sebagai Liberatores atau Pembebas.
Caesar penguasa dan diktator Republik Roma tewas karena 23 tusukan belati saat sedang pidato di mimbar Sidang Senat. Caesar dikhianati sesama anggota Senat. Komplotan konspirator pembunuh Caesar, yang berjumlah 60 orang itu, dipimpin Marcus Junius Brutus.
Padahal, Brutus adalah orang dekat Caesar. Sangat dipercaya jenderal dan negarawan Romawi itu. Brutus pernah pula diampuni Caesar karena melawannya. Bahkan dijadikan penasihat politiknya. Tapi memang, hubungan keduanya, kompleks seperti politik Roma saat itu.
Brutus menentang pengangkatan Caesar sebagai “diktator seumur hidup” oleh Senat, pada bulan Januari 44 SM. Berarti dua bulan sebelum pembunuhan itu terjadi. Ini mengingatkan kisah kebulatan tekad terhadap Soeharto di parlemen tahun 1998.
Brutus khawatir, kalau Caesar jadi “diktator seumur hidup”, selanjutnya akan jadi raja. Bila itu terjadi, demokrasi Republik Roma mati. Itu alasan Brutus mengapa mau menyingkirkan Caesar.
Maka, demi kebaikan rakyat dan negara, pikir Brutus, Caesar harus disingkirkan. Dibunuh “demi rakyat dan negara.” Itu kata Brutus, seperti dikisahkan William Shakespeare dalam drama Tragedy of Julius Caesar.
Dari zaman dahulu, rakyat digunakan untuk tameng kepentingan politik kekuasaan. Begitu yang biasa terjadi. Tetapi kemudian, rakyat lagi yang dikhianati para pemimpin politik.
”Tu quoque, Brute, fili mi. Engkau juga, Brutus, anakku,” kata Caesar sebelum tewas, melihat Brutus menusuknya.
Caesar heran, bukankah Brutus “anak didik politiknya”. Karena itu, sering dikatakan, Brutus sahabat terdekat dan tepercaya Caesar tetapi sekaligus pengkhianat terbesar pula. Meskipun, Brutus berdalih tindakannya itu atas nama rakyat. Tidak jelas, rakyat yang mana.
Maka, dalam drama Julius Caesar karya Shakespeare, Brutus digambar sebagai seorang pengkhianat. Ia tidak memiliki integritas dan kesetiaan kepada negara dan sahabatnya. Integritas seseorang mewakili karakter aslinya, dan ketidaksetiaan menunjukkan kurangnya kepercayaan dan kesetiaan.
***
Itulah politik. Kata Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi: ”Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum -lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.”
Karena itu, Publillius Syrus (yang diperkirakan hidup berkisar 85-43 SM), seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma pada zaman dahulu, menasihatkan, ”Cave amicum credas, nisi quem probaveris” -hati-hatilah, jangan memercayai seorang teman, kecuali engkau telah mengujinya.
Begitulah, kalau politik diartikan hanya sebagai alat atau kendaraan untuk memburu kekuasaan bukan untuk mengusahakan terwujudnya bonum commune, kemaslahatan bersama. Tapi, ya begitulah politik.
Maka babak selanjutnya, berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi di politik. Yang kemarin musuh, sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan. Politik itu memang begitu wataknya. Yang abadi adalah kepentingan. Maka, ada suatu masa ramai-ramai membangun koalisi; tetapi di suatu mssa lain meninggalkan koalisi kalau kepentingannya tidak lagi terpenuhi.
***
Kisah Brutus, kisah Yudas Iskariot ini menggambarkan bagaimana pengkhianatan terjadi. Mengapa terjadi. Dari dulu hingga kini, pengkhianat selalu terjadi. Apalagi di zaman sekarang ini, apa pun bisa digunakan sebagai “alasan” untuk berkhianat. Politik memang luwes untuk membuat alasan.
Kata KBBI, khianat adalah perbuatan tidak setia; tipu daya; perbuatan yang bertentangan dengan janji. Maka, di negeri ini kita mengenal istilah “politik sengkuni”. Yakni, politik yang penuh tipu daya, licik, tak beretika, juga tidak bermartabat, mengkhianati kawan seiring, dan tidak tahu terima kasih kepada orang yang sudah memberikan jalan. Semua itu karena haus akan kekuasaan.
Kisah tentang pengkhianatan politik, begitu banyak, muncul dari zaman ke zaman. Ada yang disebut pengkhianat reformasi. Ada lagi, pengkhianat demokrasi. Laku, pengkhianat konstitusi. Dan, banyak lagi, termasuk pengkhianat partai, pengkhianat rakyat karena korupsi.
Di zaman Majapahit ada tokoh bernama Mahapati yang disebut sebagai pengkhianat paling busuk. Ia menghasut Raden Wijaya, raja pertama Majapahit untuk memerangi sahabat-sahabat seperjuangannya yang memberontak: Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora, Kuti, dan Semi.
Menurut Pararaton semua pemberontakan itu pecah akibat fitnah dan adu domba Mahapati. Mahapati-lah Sengkuni di Majapahit. Adakah Sengkuni di zaman kiwari?
Baik zaman dulu maupun kini, pengkhianat politik -walau topeng atau riasan dan jubahnya berbeda- tetapi sifatnya sama. Sifat Brutus. Sifat Yudas Iskariot. Sifat Sengkuni. Yakni, perilaku politik yang jauh dari elegan, santun, dan bermartabat serta korup.
Kata orang bijak para pengkhianat lahir dari jiwa yang miskin. Dari kepengecutan yang akut. Bermuka banyak seperti Dasamuka dan mengingkari jati diri. Jangan pula bertanya tentang kesetiaan, patriotisme. Pasti mereka tidak punya. Apalagi integritas dan kejujuran.
Begitulah watak politik Brutus. Watak politik Yudas Iskariot. Watak politik Sengkuni. Dan, itu watak-watak yang mudah kita temukan di sekitar kita….atau jangan-jangan watak itu ada dalam diri kita…
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.