Dari zaman dahulu, rakyat digunakan untuk tameng kepentingan politik kekuasaan. Begitu yang biasa terjadi. Tetapi kemudian, rakyat lagi yang dikhianati para pemimpin politik.
”Tu quoque, Brute, fili mi. Engkau juga, Brutus, anakku,” kata Caesar sebelum tewas, melihat Brutus menusuknya.
Caesar heran, bukankah Brutus “anak didik politiknya”. Karena itu, sering dikatakan, Brutus sahabat terdekat dan tepercaya Caesar tetapi sekaligus pengkhianat terbesar pula. Meskipun, Brutus berdalih tindakannya itu atas nama rakyat. Tidak jelas, rakyat yang mana.
Maka, dalam drama Julius Caesar karya Shakespeare, Brutus digambar sebagai seorang pengkhianat. Ia tidak memiliki integritas dan kesetiaan kepada negara dan sahabatnya. Integritas seseorang mewakili karakter aslinya, dan ketidaksetiaan menunjukkan kurangnya kepercayaan dan kesetiaan.
***
Itulah politik. Kata Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi: ”Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum -lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.”
Karena itu, Publillius Syrus (yang diperkirakan hidup berkisar 85-43 SM), seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma pada zaman dahulu, menasihatkan, ”Cave amicum credas, nisi quem probaveris” -hati-hatilah, jangan memercayai seorang teman, kecuali engkau telah mengujinya.
Begitulah, kalau politik diartikan hanya sebagai alat atau kendaraan untuk memburu kekuasaan bukan untuk mengusahakan terwujudnya bonum commune, kemaslahatan bersama. Tapi, ya begitulah politik.
Maka babak selanjutnya, berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi di politik. Yang kemarin musuh, sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan. Politik itu memang begitu wataknya. Yang abadi adalah kepentingan. Maka, ada suatu masa ramai-ramai membangun koalisi; tetapi di suatu mssa lain meninggalkan koalisi kalau kepentingannya tidak lagi terpenuhi.
***
Kisah Brutus, kisah Yudas Iskariot ini menggambarkan bagaimana pengkhianatan terjadi. Mengapa terjadi. Dari dulu hingga kini, pengkhianat selalu terjadi. Apalagi di zaman sekarang ini, apa pun bisa digunakan sebagai “alasan” untuk berkhianat. Politik memang luwes untuk membuat alasan.
Kata KBBI, khianat adalah perbuatan tidak setia; tipu daya; perbuatan yang bertentangan dengan janji. Maka, di negeri ini kita mengenal istilah “politik sengkuni”. Yakni, politik yang penuh tipu daya, licik, tak beretika, juga tidak bermartabat, mengkhianati kawan seiring, dan tidak tahu terima kasih kepada orang yang sudah memberikan jalan. Semua itu karena haus akan kekuasaan.
Kisah tentang pengkhianatan politik, begitu banyak, muncul dari zaman ke zaman. Ada yang disebut pengkhianat reformasi. Ada lagi, pengkhianat demokrasi. Laku, pengkhianat konstitusi. Dan, banyak lagi, termasuk pengkhianat partai, pengkhianat rakyat karena korupsi.
Di zaman Majapahit ada tokoh bernama Mahapati yang disebut sebagai pengkhianat paling busuk. Ia menghasut Raden Wijaya, raja pertama Majapahit untuk memerangi sahabat-sahabat seperjuangannya yang memberontak: Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora, Kuti, dan Semi.
Menurut Pararaton semua pemberontakan itu pecah akibat fitnah dan adu domba Mahapati. Mahapati-lah Sengkuni di Majapahit. Adakah Sengkuni di zaman kiwari?
Baik zaman dulu maupun kini, pengkhianat politik -walau topeng atau riasan dan jubahnya berbeda- tetapi sifatnya sama. Sifat Brutus. Sifat Yudas Iskariot. Sifat Sengkuni. Yakni, perilaku politik yang jauh dari elegan, santun, dan bermartabat serta korup.
Kata orang bijak para pengkhianat lahir dari jiwa yang miskin. Dari kepengecutan yang akut. Bermuka banyak seperti Dasamuka dan mengingkari jati diri. Jangan pula bertanya tentang kesetiaan, patriotisme. Pasti mereka tidak punya. Apalagi integritas dan kejujuran.
Begitulah watak politik Brutus. Watak politik Yudas Iskariot. Watak politik Sengkuni. Dan, itu watak-watak yang mudah kita temukan di sekitar kita….atau jangan-jangan watak itu ada dalam diri kita…
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.