BERLIN, KOMPAS.TV – Jerman tengah bersiap untuk menggelar pemilu dini pada Maret 2025 setelah Kanselir Olaf Scholz membubarkan koalisi pemerintahannya dan merencanakan pemungutan suara kepercayaan yang akan diadakan pada Januari mendatang. Langkah ini ditempuh setelah partai liberal pro-bisnis, Free Democrats (FDP), menarik diri dari koalisi tiga partai, yang menjadi akhir dari pemerintahan Scholz.
Pemungutan suara kepercayaan yang direncanakan Scholz pada 15 Januari kemungkinan besar akan berakhir dengan kekalahan, yang kemudian akan membuka jalan bagi pemilu pada bulan Maret.
Scholz mengambil keputusan ini setelah pecahnya koalisi yang terdiri dari partainya, Social Democrats (SPD), FDP, dan Partai Hijau, yang telah memerintah sejak 2021.
Ketua oposisi, Friedrich Merz dari Partai Demokrat Kristen (CDU), pada Kamis (7/11/2024) mendesak agar pemungutan suara kepercayaan dipercepat, menyatakan bahwa pemerintahan Scholz sudah kehilangan dukungan mayoritas di parlemen.
Merz menekankan pentingnya segera mengembalikan mandat kepada rakyat melalui pemilu awal.
"Sama sekali tidak ada alasan untuk menunggu hingga Januari untuk pemungutan suara mosi tidak percaya. Koalisi tidak lagi memiliki mayoritas," ujarnya dikutip dari The National.
Koalisi yang dibentuk pada akhir 2021 dengan tujuan memodernisasi Jerman, kini terpecah akibat ketidakcocokan kebijakan ekonomi di tengah krisis nasional, seperti perang di Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, dan masalah migrasi ilegal.
Puncaknya terjadi ketika FDP menolak rencana Scholz untuk mencabut batas utang konstitusional guna mencegah pemotongan anggaran serta menjaga dukungan bagi Ukraina.
Baca Juga: Koalisi Pemerintah Jerman Bubar usai Kanselir Pecat Menkeu, Oposisi Tuntut Pemilu Digelar
Christian Lindner, pemimpin FDP yang dipecat dari jabatan Menteri Keuangan pada Rabu malam (6/11), menjadi pemicu berakhirnya pemerintahan Scholz.
Lindner menolak rencana Scholz yang dianggap melanggar konstitusi terkait batas utang, dan justru mengusulkan pemotongan anggaran publik serta pengurangan regulasi.
Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mengindikasikan kesiapannya untuk membubarkan parlemen dan memfasilitasi pemilu lebih awal.
Ia menekankan bahwa Jerman membutuhkan pemerintahan yang stabil dengan mayoritas yang jelas.
“Berakhirnya sebuah koalisi bukanlah akhir dari segalanya, namun ini merupakan krisis politik yang harus segera diatasi," tutur Steinmeier.
Setelah pemungutan suara kepercayaan pada Januari, jika Scholz kalah, Steinmeier memiliki waktu tiga minggu untuk membubarkan parlemen. Pemilu diharapkan bisa berlangsung dalam kurun waktu 60 hari setelah pembubaran tersebut.
Pembubaran koalisi ini tidak terlepas dari perbedaan pandangan yang tajam terkait kebijakan ekonomi di antara partai-partai yang berkuasa.
Scholz, bersama Partai Hijau, mendorong pengeluaran pemerintah yang lebih besar, termasuk usulan untuk membatasi biaya energi bagi perusahaan dan mempertahankan bantuan bagi Ukraina.
Baca Juga: Tamu Negara dari Rusia dan Jerman Tiba di Indonesia untuk Hadiri Pelantikan Prabowo-Gibran
Sementara itu, FDP menekankan perlunya pengurangan pajak, pemotongan anggaran, dan perlambatan transisi ke ekonomi karbon-netral.
Scholz membela langkahnya untuk mendorong kebijakan fiskal yang lebih fleksibel sebagai upaya menyelamatkan ekonomi Jerman yang saat ini mengalami kontraksi.
Ia juga menuduh Lindner lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri dibandingkan kepentingan nasional.
Terlepas dari situasi politik yang semakin memanas, pemerintahan sementara yang kini hanya terdiri dari SPD dan Partai Hijau bertekad untuk tetap menjalankan tugas mereka hingga pemilu diadakan.
Wakil Kanselir dari Partai Hijau, Robert Habeck, menegaskan bahwa pemerintah masih berfungsi dan akan memenuhi tanggung jawabnya hingga akhir.
Krisis politik ini berlangsung di tengah meningkatnya dukungan terhadap partai sayap kanan, Alternative für Deutschland (AfD), yang dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran masyarakat atas migrasi ilegal dan ekonomi yang melemah.
Tantangan lain yang harus dihadapi pemerintahan Jerman selanjutnya adalah perbaikan infrastruktur yang menua serta daya saing ekonomi yang semakin terancam oleh persaingan dari China.
Para analis memandang bahwa pemilu dini ini bisa menjadi solusi untuk mengakhiri kebuntuan politik dan membawa arah kebijakan yang lebih jelas bagi Jerman.
“Pemilu dan pemerintahan baru dapat mengakhiri stagnasi yang ada dan memberikan panduan kebijakan yang lebih pasti,” kata ekonom ING, Carsten Brzeski.
Baca Juga: Tamu Negara dari Rusia dan Jerman Tiba di Indonesia untuk Hadiri Pelantikan Prabowo-Gibran
Sumber : The National
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.